Malam
ini udara terasa panas, sumuk alias gerah. Pulang dari kerja
aku menyempatkan diri makan mie Jowo di dekat kompleks SMK (kesenian), di
Bugisan. Beberapa hari terakhir memang udara panas, tak ada hujan. Saat ini
memasuki musim kemarau, sekarang masanya pancaroba.
Udara
yang panas, mengeringkan segala-galanya, termasuk hatiku. Tak ada hujan,
berarti kering, tidak basah. Sekering seperti lahan pekerjaanku. Semenjak pak
Gubernur sidak di jembatan timbang di Batang, aku dan kawan-kawan terkena
imbasnya.
Semua
menjadi kacau! Keuanganku biasanya aman-aman saja meskipun gaji kuserahkan
seluruhnya pada mBok Wedok (sebutan untuk isteriku). Sekarang aku kalang kabut.
Terlanjur uang aku berikan pada mBok Wedok untuk keperluan sehari-hari dan angsuran
bank.
Dompetku
semakin tipis dan aku hanya terus berpikir bagaimana dengan waktu-waktu yang
akan datang? Rencana pak Gubernur akan menutup sembilan titik jembatan timbang yang
tidak efektif membuat aku dan kawan-kawan nglokro, tidak semangat.
Terus
terang, aku tidak siap! Selama ini aku merasa kecukupan bahkan berlebihan.
Semuanya beres dan lancar. Anak isteri tahunya semua ada, dan bisa didapat
(sengaja aku tak memakai kata-kata mudah didapat).
Lahan basah, jenes dan banyak ser-seran adalah
dambaan semua orang termasuk aku. Aku dan kawan-kawan banyak berharap, rencana
penutupan beberapa jembatan timbang ini hanya sementara. Konon katanya penutupan
beberapa jembatan timbang dikarenakan jembatan timbang merupakan celah suburnya
pungli.
Ooooo
Dulu
aku sempat diremehkan banyak orang. Tapi setelah aku menjadi pegawai di dinas
perhubungan kehadiranku diperhitungkan termasuk oleh mertuaku. Kupikir mertuaku
matre juga. Itu hak mertuaku! Awalnya mereka juga kuatir, aku bisa menghidupi
anak dan cucunya atau tidak.
Setelah
pekerjaanku mapan banyak orang menjadi lebih dekat denganku. Saudara-saudaraku
juga merasa tidak terganggu lagi. Tertutama kakakku yang menjadi guru. Sebagai
guru tidak tetap dengan honor tak seberapa, kakakku hidup teramat sederhana,
nrimo.
Aku
tak bisa seperti itu. Walaupun aku sudah berkeluarga, aku sering mengganggu
perekonomian kakakku. Padahal kakakku hanyalah seorang guru tidak tetap dengan
penghasilan pas-pasan.
Ketika
aku menjadi pegawai, kakakku bersyukur karena aku bisa mandiri. Banyak orang
termasuk kakakku tahu kalau lahanku termasuk lahan basah. Suatu hari kakakku
pernah mengingatkan.
“Semua
ada masa dan waktunya. Jangan merasa engkau akan baik-baik saja. Sebaiknya
pikirkan mencari penghasilan tambahan yang lain saja.”
“Mas
Jati, tidak usah sok tahu. Kalau mas Jati sudah merasa cukup dengan honor dan
bertani, mas Jati tak perlu menasehatiku!”
“Luhur,
aku tidak memaksa supaya kamu menuruti kata-kataku. Kamu juga yang akan
menjalani hidup. Terserah kamu saja.”
Siang
ini aku merenungkan kembali kata-kata mas Jati. Benar juga kata mas Jati.
Seandainya aku mencari penghasilan tambahan yang lain seperti yang disarankan
mas Jati, mungkin aku tidak akan kacau seperti ini.
Beberapa
waktu yang lalu aku mencairkan pinjaman bank untuk renovasi rumah, untuk
melanjutkan kuliah dan membelikan motor buat anakku. Saat itu aku pikir gaji
tiap bulan cukup untuk membayar angsuran bank, untuk biaya sekolah ketiga
anakku dan untuk kebutuhan sehari-hari.
Untuk
urusanku sendiri, aku mengandalkan rupiah demi rupiah dari tip-tip sopir.
Jumlahnya lumayan, bisa untuk bayar kuliah, ongkos transportasi, makan siang
dan bersenang-senang dengan wanita lain selain mBok Wedok. (tempat tinggalku
lain kota dengan tempat kerjaku).
Wanita
lain yang diam-diam kunikahi secara siri. Namanya laki-laki, kalau ada
kelebihan uang wajarlah untuk memiliki lebih dari satu. Yang penting keuangan
mBok Wedok tidak terganggu.
Kali
ini aku dihadapkan masalah yang sulit. Semoga Bunda (sebutan isteri
keduaku) bisa memahami keadaanku. Toh dulu dia juga tidak banyak menuntut.
Sebenarnya aku kasihan sama Bunda, dari segi materi Bunda benar-benar nrimo
menyerah pasrah. Tapi sebagai isteri tugasnya melayaniku sama dengan mBok
Wedok.
Siang
ini sebelum pulang, aku ke rumah kontrakan Bunda. Istirahat barang sebentar
untuk memulihkan tenaga. Bunda menyambutku dengan senyum tulus.
Di
pembaringan kupejamkan mata. Bunda sudah berada di dekatku. Sebenarnya aku
benar-benar ingin istirahat tidur, tidak ingin diganggu (biasanya aku yang mengganggu
isteriku).
“Pak,
aku terlambat datang bulan.”
Aku
benar-benar kaget dengan ucapannya. Kubuka mataku, kutatap matanya. Benarkah
kamu hamil, isteriku?
“Benarkah?
Selamat, isteriku.”aku malah bingung mau mengucapkan apa.
Kupeluk
dia. Seharusnya aku bahagia. Tiga anak dari mBok Wedok, satu anak dari Bunda.
Aku berpikir keras lagi, bagaimana aku bisa menghidupi dua orang isteri dan
empat orang anak?
Ooooo
Mbok
Wedok menyambutku dengan wajah ceria, tidak seperti biasanya. Anak perempuanku
yang paling besar sudah asyik dengan buku-buku pelajarannya. Sedang dua adiknya
tertidur pulas di depan TV.
Setelah
mengemasi pakaian kotor dan menaruh di mesin cuci, mBok Wedok mendekatiku. Ada
sesuatu yang akan dibicarakan.
“Pak,
kasihan Mas Jati dan isterinya. Pernikahannya sudah berjalan lama, tapi belum dikaruniai anak. Mereka
hidup sederhana, gajinya buat apa ya Pak?”
“Tanya
saja pada mereka. Kok tiba-tiba kamu tanya seperti itu?”
“Maksudku,
kita ini lo. Sebentar saja anak kita sudah tiga, belum lagi sepertinya aku
terlambat menstruasi.”
“Maksudmu,
kamu hamil lagi?” aku kaget tak percaya, berusaha untuk kelihatan bahagia.
Memang
aku harus bahagia, karena sebentar lagi bakal memiliki 2 anak dengan jarak
lahir yang berdekatan. Tapi kenapa Tuhan mengujiku dengan menambah anak
sementara penghasilanku berkurang. Sedangkan Mas Jati, diuji belum juga diberi
anak.
Malam
ini aku justeru tidak bisa memejamkan mata. Bayangan himpitan ekonomi di masa
yang akan datang ada di pelupuk mata. Aku sendiri bingung. Aku membatin, semoga
penutupan beberapa jembatan timbang dibatalkan.
Kuambil
koran sekenanya. Aku baca berita, masih tentang jembatan timbang. Aku sementara
bisa menghela nafas lega. Beberapa yang sempat aku baca isinya adalah :
penutupan sembilan jembatan timbang mendapatkan protes dari pimpinan DPRD
Jateng. Ide penutupan itu justeru dianggap tidak akan menyelesaikan masalah.
Menurut
Plt Ketua DPRD Jawa Tengah adalah dengan tidak beroperasinya sembilan jembatan
timbang yang ada saat ini, masalah yang akan timbul antara lain kekacauan di
jalan raya karena tidak ada pengawasan terstruktur dari petugas. Tak ada lagi
yang mencegah terjadinya kelebihan tonase angkutan barang.
Keberadaan
jembatan timbang masih diperlukan untuk mencegah angkutan barang melebihi
tonase yang dapat merusak jalan. Jadi akan lebih baik jika penutupan jembatan
timbang tersebut bersifat sementara. Yang perlu dilakukan Pemprov melalui Dinas
Perhubungan melakukan perbaikan sarana prasarana dan SDM petugasnya.
Dengan
hanya mengoperasikan tujuh jembatan timbang, apakah bisa menjamin mencegah dan
menangani kelebihan muatan barang?
Yang
ada di pikiranku adalah dua isteriku hamil, dua anak yang akan lahir beberapa
bulan mendatang, jembatan timbang dan sopir-sopir yang mengulurkan rupiah.
Rupiah-rupiah yang masuk kantong, saku celana sendiri. (SELESAI)
Karanganyar, 18 Mei 2014
@Dimuat di SOLOPOS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar