Oleh : Kahfi Noer
Usaha yang dijalankan
oleh alm. Bapak dan ibu mertua sejak tahun 80-an yaitu penyediakan peti mati
dan perlengkapannya. Seperti kain mori, kapas, minyak wangi, sabun, sampo,
kapur barus, kemenyan, lilin, benang, jarum, paku, keranjang bunga, kertas
putih (untuk menghias keranjang), merah (untuk bendera tanda ada orang
meninggal), nisan, kipas, kendi-anglo. Selain itu juga menyediakan air mineral
240 ml, permen, rokok dan sapu tangan.
Pertama kali peti mati
datang dari pengrajin, tetangga bapak/ibu sempat kaget karena barusan adik ipar
waktu itu masih batita masuk rumah sakit. Ternyata datangnya peti mati tidak
ada hubungannya dengan sakitnya adik ipar.
Kebetulan di tempat
tinggal mertua dan sekitarnya belum ada yang menyediakan perlengkapan semacam
itu. Bisa dibilang usaha ini belum ada saingannya.
Akan tetapi, berbisnis
peti mati memang harus sabar, siap stand-by 24 jam. Tahu sendiri bukan, orang
meninggal tidak bisa diduga waktunya. Bisa pagi, siang, sore, tengah malam atau
dini hari. Biasanya orang yang membeli peti mati sebagai orang suruhan
personelnya itu-itu saja alias ajeg. Misalnya di dusun A yang biasa ditugasi
membeli peti adalah Pak Bejo, di dusun B mungkin Mas Paijo dan seterusnya.
Sampai-sampai bapak/ibu mertua hapal, kalau yang membeli peti Pak Bejo berarti
yang meninggal orang dusun A.
Bapak/ibu mertua harus
siap 24 jam. Saya pun pernah membantu mereka melayani pembeli peti mati dan
perlengkapannya tengah malam. Yang lebih membuat bapak/ibu sabar adalah
kadang-kadang pembeli tidak membawa uang sepeser pun. Mungkin ada orang yang
mengeluh sudah malam-malam membangunkan orang tidur, e... masih ngutang lagi.
Tapi ternyata bapak/ibu tidak pernah mengeluh. Syukurlah bisa membantu mereka
itung-itung sedekah waktu, hehe.
Biasanya kalau ada yang
membeli peti tetapi belum membawa uang, ahli waris dari orang yang meninggal
dari golongan tidak mampu. Nanti bayarnya setelah membuka amplop sumbangan dari
para pelayat.
Menurut cerita bapak/ibu
mertua belum ada sejarahnya pembeli yang ngutang lalu ngemplang (nunda-nunda
pembayaran sampai ditagih-tagih) bahkan melarikan diri tidak membayar. Semua
membayar, hanya waktunya saja yang mundur.
Setelah bapak/ibu
mertua meninggal, usaha ini dilanjutkan adik ipar. Sebelum adik ipar mewarisi usaha
ini, dia dan isterinya membeli kotak peti yang belum diberi kain saten.
Kemudian peti-peti itu dibungkus kain saten sedemikian rupa. Lalu dijual ke ibu
mertua. Setelah ibu meninggal, adik ipar disetori oleh pengrajin siap jual. Ada
peti berkain saten putih dan peti ukir-ukiran.
Pernah suatu saat,
tahun 2006-an, saya juga ingin berbisnis peti mati dengan menyewa kios.
Ternyata yang punya rumah (sudah tua, pernah sakit stroke) stress lalu jatuh sakit. Uang sewa yang sudah
saya serahkan, oleh anaknya dikembalikan dan beliau minta maaf karena kiosnya
tidak diijinkan bila untuk menjual peti mati. Haha, sampai sekarang saya sering
tersenyum kalau ingat peristiwa tersebut.
Gagal menyewa kios, saya
tidak menyerah begitu saja. Saya ingin membuka usaha ini di rumah. Ternyata ibu
kandung saya menentang. Kalau saya bersikeras menjalani usaha ini, artinya ibu sudah tidak mungkin
mengunjungi saya dan menjenguk cucunya. Haha, ternyata ibu saya juga takut.
Namanya juga rejeki,
sudah ada yang mengatur. Kadang seminggu, tidak ada penjualan peti mati. Tetapi
di lain waktu, sehari bisa laku tiga buah peti. Pagi, siang atau malam bahkan kadang-kadang
waktunya bersamaan.
Berbisnis peti mati
rupanya masih menjanjikan, dan bisnis ini tidak pernah kena tipu (tidak seperti
bisnis sembako). Siapa mau mencoba? Tapi pikirkan dulu masak-masak, soalnya
tetangga kiri kanan mungkin ada yang tidak setuju (karena takut juga
barangkali, hehe). (SELESAI)
Karanganyar, 16 Agustus
2013
Jangan menyerah untuk
berwirausaha, AYO!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar