LEBARAN
TANPA THR
Lebaran
tanpa mendapatkan Tunjangan Hari Raya, itu sudah biasa. Kalau ada berita
tentang THR, saya dan suami selalu bilang THR sudah kita siapkan sendiri. Uang-uang
kita sendiri.
Saya
dan suami terbiasa menyiapkan Tabungan Hari Raya sejak setahun sebelumnya. Begitulah
tiap tahunnya.
Saya
dan suami saya mengajar sejak tahun 1997. Seumur-umur kami mengajar, belum
pernah mendapatkan THR. Suami PNS, dan saya sendiri guru swasta. Selama ini
setiap menjelang lebaran mendapatkan bingkisan lebaran dari sekolah yang
nilainya (maaf) tidak seberapa dibandingkan dengan orang-orang yang mendapat
THR (bahkan menuntut THR) sebesar minimal seperberapa gaji bulanan.
Bahkan
di tempat saya mengajar pernah iseng-iseng menghitung harga bingkisan lebaran,
tidak lebih dari Rp. 100.000,00. Karena kemampuan Yayasan memberikan sejumlah
barang tersebut. Alhamdulillah, bisa ngirit gak beli sirup, gula, teh dan
wafer. Hehe... Mengurangi pengeluaran.
Tapi
kami selalu bersyukur, karena sejak bulan Syawal kami selalu menyisihkan uang
untuk Tabungan Hari Raya. Keluarga kami (di sekolah saya dan suami) THR
singkatan dari Tabungan Hari Raya. Jadi uang itu milik kami sendiri yang
dikelola oleh Koperasi dan dibagikan dua minggu sebelum lebaran. Di kantor saya
dan suami sama-sama THR dikelola oleh koperasi.
Saya
dan kawan-kawan tidak pernah dipusingkan dengan THR. Tidak pernah berharap
mendapatkan THR dari kantor. Kami terbiasa dengan sikap perwira. Tidak meminta
bahkan menuntut. Apalagi mengemis. Tidak pernah mengeluh, tidak pernah
menggerutu.
Kalau
kebetulan kami membaca koran tentang THR pada saat Ramadhan dan menjelang
lebaran, kami senyum-senyum. Untung saja kita terbiasa seperti ini.
Ketika
kanak-kanak dan remaja, di kampung saya bila ada TPA, biasanya diadakan program Menabung. Besarnya tidak mengikat.
Setiap anak yang menabung diberi buku tabungan. Kemudian tabungan dibuka (diserahkan ke penabung) pada
saat akan lebaran. Penabung tidak mendapatkan bunga/jasa, malah biasanya
penabung memberikan infaq untuk kepentingan Takbiran Keliling/Takbir Akbar pada
saat Malam Takbiran. Infaq tersebut untuk membeli kertas hiasan obor dari
bambu, lampion, permen, minuman dan makanan. (Tapi sekarang kebanyakan Takbir
Keliling biayanya sudah diambilkan dari infaq Ramadhan/ada donatur). Pengelola
tabungan biasanya Remaja Masjid juga tidak mendapatkan honor atau apalah.
Karena uang tabungan murni hanya disimpan.
Pada
saat itu, kami tidak pernah mengharapkan salam tempel atau yang biasa disebut
fitrah. Kami terbiasa disiapkan orang tua memiliki uang pada saat lebaran. Duh,
senangnya saat itu.
Berbeda
sekali dengan jaman sekarang. Walaupun tidak semua anak/semua orang tua yang
membiasakan dengan salam tempel/fitrah. Prihatin kalau ada anak yang
bersilaturahmi lalu mengharapkan imbalan salam tempel, bahkan kalau diberi uang
sedikit masih juga mengeluh.
Saya
dan suami tidak pernah berharap mendapat
THR karena terbiasa, dan anak-anak biasa tidak berharap salam tempel.
Semoga generasi yang
akan datang juga tidak memiliki sifat materialistis. Baik orang tua maupun
anak-anak dapat memiliki sifat dan sikap perwira.
karanganyar, 9 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar