KAKAKKU, PAHLAWANKU
Aku terlahir sebagai anak
nomor empat dari enam bersaudara. Ada cerita yang tak akan pernah aku lupakan,
tentang aku dan kakakku yang monor dua. Dia adalah Mbak Ana.
Setelah Mbak Ana bekerja,
dia membantu orang tua untuk membiayai sekolah adik-adiknya, termasuk aku
(mulai kelas 1 SMA). Waktu itu aku duduk di kelas satu dan kakakku yang nomor
tiga (Mbak Lichah) kelas dua. Aku dan
Mbak Lichah satu sekolah.
Kami berasal dari keluarga
kurang mampu. Aku dan Mbak Lichah berusaha untuk mendapatkan keringanan biaya
sekolah. Kalau perlu dapat bebas SPP alias gratis. Untuk mendapatkan bebas SPP, kondisi kami
tidak memenuhi syarat. Oleh pihak sekolah aku dan Mbak Lichah diberi keringanan
50% dari uang SPP yang seharusnya kami bayarkan.
Aku dan Mbak Lichah tidak
bilang pada Mbak Ana kalau kami mendapat keringanan membayar SPP. Mbak Ana
setiap bulan memberikan uang SPP penuh. Aku dan Mbak Lichah berbeda dalam
menggunakan uang keringanan tersebut.
Aku membayarkan semua uang
SPP dari Mbak Ana untuk dua bulan. Setelah enam bulan lunas untuk satu tahun,
maka bulan berikutnya uangnya aku tabung atau aku belikan benda-benda yang
bermanfaat. Mbak Lichah membayar SPP satu bulan, sisa uangnya digunakan untuk
keperluan sekolah termasuk untuk membeli buku.
Selama aku SMA sampai kuliah,
aku tak pernah bercerita pada Mbak Ana soal keringanan 50% biaya sekolah.
Setelah lulus kuliah, aku dan Mbak Lichah baru bercerita pada Mbak Ana. Mbak
Ana memang baik hati, tidak marah atau tidak merasa dibohongi adik-adiknya.
Tanggapan Mbak Ana biasa saja. Dengan nada bercanda dia bilang,”Adikku memang
licik semua.”
Aku dan Mbak Lichah memang
berbeda. Sejak dahulu sampai sekarang aku dikenal paling hemat di antara
saudara-saudaraku. Kalau Mbak Lichah termasuk boros. Mbak Lichah tidak sungkan
meminta uang pada Mbak Ana. Kalau aku memang cukup tahu diri. Aku tahu
bagaimana beratnya Mbak Ana mencari uang. Aku jarang meminta uang pada Mbak
Ana. Karena aku tak pernah minta uang, malah sering ditawari atau ditanya,”Uangmu
masih atau tidak?”
Saudaraku yang lain akan
bilang,”Yang butuh uang tidak ditawari, yang tidak butuh ditanya-tanya.” Ya,
begitulah. Lain aku, lain Mbak Lichah.
(Tulisanku kali ini tidak
menceritakan orang tua sebagai pahlawan. Karena orang tuaku adalah
segala-galanya. Tak cukup ruang dan waktu untuk menceritakan kehebatan mereka,
bukan karena aku mengabaikan peran beliau berdua.)
Mbak Ana bekerja sebagai
PNS, ditempatkan di Laboratorium di FMIPA UGM. Yang aku tahu waktu itu dia
menyiapkan segala sesuatu untuk praktikum mahasiswa. Akan tetapi Mbak Ana juga
membuat preparat untuk memenuhi pesanan dan kepentingan mahasiswa.
Kadangkala aku membantu Mbak
Ana untuk mencari tumbuhan yang akan digunakan untuk membuat preparat. Pernah
suatu hari aku ikut ke Kaliurang untuk mendapatkan lumut. Aku harus ke Kulon
Progo mencari bunga cengkeh yang masih segar atau mencari perdu teh dari akar,
batang sampai daun hingga Kabupaten Karanganyar. Hanya itu yang bisa aku
berikan pada Mbak Ana.
Pertama kali aku menulis cerita
anak lalu mengirimkan ke media dan dimuat, Mbak Ana tidak tinggal diam. Dia
mendukung kegiatanku. Kadang-kadang dia akan meminjam mesin ketik dan
membawakannya untukku. Itu dilakukan agar aku bisa menulis.
Ketika aku sudah mengenal komputer,
dia juga tidak merasa terganggu bila aku ke kantornya setelah jam kantor usai
(Mbak Ana suka lembur sampai sore). Malah
dia merasa hubungan kami bagai simbiosis mutualisme. Aku beruntung bisa
mengetik di kantornya dan dia merasa ditemani untuk mengerjakan pekerjaannya.
Suatu hari aku ke kantor
Mbak Ana. Aku meminta uang untuk membayar SPP. Betapa terkejutnya aku, Mbak Ana
saat itu marah-marah. Aku dikatakan mendadak minta uang. Seharusnya jauh-jauh
hari sebelumnya bilang supaya dia bisa mencarikan pinjaman dulu. Aku diam
merasa bersalah. Dalam hati aku menyesal. Rasanya aku telah mengecewakannya.
Aku bilang kalau belum ada uang juga tidak apa-apa. Tapi Mbak Ana tetap mencari
pinjaman uang.
Sore harinya, pulang dari
kantor Mbak Ana minta maaf padaku sambil meneteskan air mata. Aku bingung, ada
apa? Dia bilang kalau marahnya tadi waktu di kantor bukan tanpa alasan,
ternyata saat itu dia pas datang bulan. Mendadak emosinya meledak. Dalam hati
aku membatin, pantas saja, biasanya tidak pernah marah-marah padaku. Aku jadi
maklum sesama perempuan pasti pernah mengalami juga.
Kakakku, pahlawanku. Itulah
yang aku rasakan dari dulu sampai sekarang. Setelah lulus kuliah dan aku
bekerja, aku ingin membantu keluarga yang sedang memperbaiki rumah. Waktu itu
gajiku belum seberapa. Tapi aku ingin memberikan beberapa rupiah untuk bisa
ikut berkontribusi. Waktu itu, tahun 1998, aku mau memberikan uang Rp.
150.000,00. Tapi Mbak Ana berpikiran kalau aku masih membutuhkan uang dan
gajiku belum seberapa. Dia menyarankan uangku aku gunakan untuk keperluan lain
dulu.
Ketika aku menikah pada
tahun 1999, lagi-lagi Mbak Ana tidak tinggal diam. Saudara-saudaraku semua
ambil peran, tapi aku akui peran Mbak Ana tidak bisa dibilang enteng.
Setelah anakku lahir, aku
tetap mengingat-ingat kalau aku dulu pernah mau menitipkan uang pada Mbak Ana
untuk membantu biaya renovasi rumah. Mbak Ana menerima uangku. Akan tetapi saat
itu anakku genap berusia satu tahun. Ulang tahun anakku dirayakan. Mbak Ana
membuat pesta kecil-kecilan, dan biayanya melebihi dari uang yang aku berikan
untuknya di hari sebelumnya. Subhanallah, Mbak Ana tidak pernah ingin melihatku
kekurangan.
Setelah menikah aku dan
suami tinggal di rumah mertua. Pada saat usia anakku dua tahun, kami menempati
rumah sendiri. Aku dan suami mengajar. Di rumah tidak ada pembantu rumah
tangga. Sehari-hari anakku berada di penitipan anak bila kami tinggal bekerja.
Untuk meringankan
pekerjaanku lagi-lagi Mbak Ana memberikan sesuatu yang amat berharga buatku.
Sebuah mesin cuci dengan harga tidak murah karena mereknya juga tidak
asal-asalan. Belum lagi ketika aku memperbaiki rumah, Mbak Ana juga memberikan
uang untuk membeli bahan bangunan. Bagaimana aku bisa membalas kebaikan kakakku
ini?
Kalau aku tak bisa membalas
kebaikannya, minimal aku bisa memberikan sesuatu untuk orang tuaku. Sekarang
kehidupanku jauh lebih mapan. Aku ingin memberikan sesuatu buat Mbak Ana. Aku
tahu, dia pasti menolak. Dia merasa aku lebih membutuhkan materi yang aku
miliki. Tapi aku akan memaksa padanya untuk menerima.
Ketika aku mendapatkan
rezeki dan aku berikan padanya, dia masih bertanya,”Uang ini untuk bapak dan
ibukah?”
“Bukan, itu buat kamu.
Terserah mau digunakan untuk apa. Aku akan memberikan sendiri untuk bapak dan
ibu.”
Rasanya tidak percaya
kalau aku bisa mengulurkan beberapa lembar rupiah untuk kakakku. Mbak Ana
mungkin masih ragu. Aku bilang misalnya buat membeli genteng yang bocor atau kran untuk rumah bapak
juga tak apa. Lalu dia bilang kalau untuk membeli salep kaki
yang gatal (kena kutu air), bagaimana? Ya sudah aku jawab, tak apa biar kakinya
tidak mlethek-mlethek (pecah-pecah).
Karanganyar, 8 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar