Kelinci adalah salah satu binatang yang saya pelihara. Tahun 2000, Saya pernah memelihara kelinci. Waktu itu saya masih tinggal di rumah mertua.
Ada rumah kosong yang digunakan untuk menyimpan tumpukan jerami. Jerami-jerami
untuk pakan sapi. Sepasang kelinci saya pelihara di sana.
Kelinci yang bunting/hamil/mengandung cenderung membuat lubang di bawah
tanah. Bahasa Jawanya “ngerong”. Bayi-bayi kelinci itu akan lahir dan hidup di
dalam lubang. Setelah cukup umur, anak-anak kelinci akan keluar dari lubang.
Saya sempat melihat anak-anak kelinci keluar dari lubang. Akan tetapi
hanya beberapa hari saja. Selanjutnya saya tidak melihat lagi. Anak-anak
kelinci tadi mati karena semut. Ya, musuh kelinci adalah semut. Setelah itu
saya lupa sepasang kelinci induknya diapakan. Entah itu dijual atau disembelih.
Tiga tahun kemudian, saya memelihara sepasang kelinci putih yang manis.
Kali ini saya sudah menempati rumah sendiri. Rumah di tengah sawah. Suami
membuatkan kandang yang lebih aman. Saya tidak mengalami kesulitan mencari
pakan. Di sekitar rumah tersedia pakan. Alam memberikan pakan itu secara
gratis.
Suatu hari seekor kelinci berada di luar kandang dalam keadaan mati.
Rupanya saya lupa menutup kandang. Bagian leher kelinci ada bekas gigitan.
Sepertinya kelinci itu dimangsa kucing.
Beberapa hari kemudian, satu ekor kelinci yang lain juga mati dalam
keadaan yang sama. Ternyata suami lupa menutup kandang. Kali ini yang lupa
tidak menutup kandang adalah suami saya.
Tahun 2013, saya memiliki 4 pasang kelinci. Enam ekor di antaranya adalah
kelinci Australia. Dua ekor lainnya adalah kelinci lokal. Enam ekor kelinci
Australia dimasukkan ke dalam kandang besar. Dua ekor kelinci lokal dimasukkan
ke dalam kandang yang lain.
Suatu malam, saya mendengar suara gaduh di luar rumah. Rupanya ada anjing
yang mendekati kandang.saya membangunkan suami. Suami membuka pintu. Dia
melihat 2 ekor anjing kabur. Dari 6 ekor kelinci Australia, yang masih tersisa
hidup hanya 1ekor saja. Dua ekor dibawa kabur, 3 ekor mati di dalam kandang
dengan luka bagian leher.
Dengan mulutnya, anjing tersebut berhasil mencongkel kawat ram. Pagi
harinya saya menyuruh suami segera menguburkan kelinci-kelinci tersebut. Kedua
anak saya sudah terlanjur dekat dengan kelinci-kelinci tersebut.
Ketika Faiq dan Faiz bangun tidur, saya memberi tahu mereka. Di luar
dugaan saya, keduanya menangis histeris. Faiq, gadis kelas 8 SMP itu ngambek,
tidak mau sekolah. Faiz, yang masih TK juga menangis. Namanya juga anak-anak,
mereka belum bisa mengelola hati.
Beberapa bulan kemudian, karena perbedaan suhu udara yang ekstrim, 2 ekor
kelinci akhirnya mati kedinginan. Masih ada satu ekor kelinci yang manis. Saya
merasa sangat bersalah. Saya keluarkan seekor kelinci manis tersebut. Entahlah,
ke mana perginya kelinci tersebut. Kelinci itu raib. Lengkap sudah rasa
kehilangan saya. Akhirnya, saya tidak memiliki kelinci. Akan tetapi saya masih
memiliki hewan piaraan yang lain, yaitu ayam kampung.
Saya tidak kapok memelihara kelinci. Sekarang saya memiliki 3 ekor
kelinci. Ada alasan mengapa saya tidak bosan memelihara kelinci meski
belum memperoleh hasilnya. Pertama, karena pakannya mudah saya dapatkan dari
sekitar rumah alias gratis.
Kedua, bila kandang kelinci berada dalam rumah tertutup, maka mudah memeliharanya.
Ketiga, saya dapat mengambil manfaat dari kotoran kelinci secara langsung.
Kotoran kelinci digunakan untuk pupuk.
Meskipun setiap hari kedua anak saya tidak berhubungan langsung dengan
kelinci, tapi tiap pulang sekolah mereka selalu menanyakan keadaan
kelinci-kelincinya. Saya yakin kedua anak saya menyukai kelinci-kelinci sama
halnya menyukai ayam-ayamnya.
Karanganyar, 25 Februari
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar