Gambar. Mukena Pemberian Anak Asuh
Akhir tahun 2012, saya mulai memperhatikan seorang siswa, namanya Hidayat.
Kebetulan Hidayat akan mengundurkan diri dari sekolah dengan alasan tidak ada
biaya untuk sekolah. Orang tuanya tidak mampu dan keempat kakaknya sudah
berkeluarga semua. Kakak-kakaknya repot dengan keluarganya.
Sangat disayangkan seandainya Hidayat berhenti sekolah. Setelah berdiskusi
dengan suami, saya memutuskan untuk menjadikan Hidayat sebagai anak asuh. Semoga
apa yang saya usahakan dan saya berikan bermanfaat bagi Hidayat dan keluarga
saya. Untuk uang SPP dan sedikit uang saku saya berikan sesuai kemampuan saya.
Akan tetapi orang tua Hidayat tetap menginginkan Hidayat untuk berhenti
sekolah dan bekerja. Saya tidak bisa memaksakan kehendak saya. Bagaimanapun
orang tua Hidayat lebih berhak untuk mengatur kehidupan anaknya. Ibunya berkata
bahwa sekolah hanya menghabiskan uang saja. Kalau Hidayat bekerja justeru akan
menghasilkan uang. Ya sudah kalau hanya sebatas itu cara berpikir orang tua
Hidayat.
Jadilah Hidayat di saat kelas X semester genap, usianya baru 16 tahun
merantau ke Jakarta. Dipilih Jakarta sebagai tempat untuk mengadu nasib karena
dua kakaknya juga bekerja di sana. Kakak lelakinya bekerja serabutan dan kakak
perempuan bekerja di tempat kos sebagai asisten rumah tangga.
Saya meragukan Hidayat bisa bekerja agak berat sebab dia memiliki riwayat
penyakit TBC. Ketika masih sekolah dia sering izin tidak masuk sekolah karena
periksa atau kelelahan. Mungkin orang desa membayangkan dengan bekerja keras
maka hasil yang diperoleh juga banyak. Tapi ternyata fisik Hidayat tidak kuat.
Semula Hidayat bekerja menjaga tempat kos dan menjadi asisten pemain golf
(wah, tidak tahu istilahnya apa). Bekerja seharian penuh membuat fisik Hidayat
semakin lemah. Maka dia putuskan untuk bekerja sebagai penjaga kos saja dulu. Pertimbangannya
kalau fisiknya kuat dan umurnya semakin bertambah dia akan mencari pekerjaan
yang lain.
Waktu terus berjalan, lima bulan kemudian Hidayat pulang kampung. Saya tidak
tahu mengapa dia putuskan pulkam akhir bulan Agustus. Sebelum pulang
Hidayat bertanya pada saya lewat pesan
singkat.
= (Hidayat) Ibu kepingin saya belikan apa?
+ (Saya) Tak usah repot-repot. Yang penting kamu pulang dengan selamat. Uangnya
ditabung saja.
= saya ingin memberikan sesuatu buat Ibu
+ kerudung, warnanya putih
Setelah sampai Karanganyar, kami sepakat bertemu di Warung Makan Anjani,
dekat Taman Pancasila, Karanganyar kota kecamatan. Hidayat membawa tas kresek
dengan beberapa bungkusan di dalamnya. Ternyata Hidayat membelikan kerudung
putih sederhana sesuai permintaan saya, mukena dan mobil mainan untuk anak
saya. Saya sangat terharu dan mendapat kejutan. Saat itu saya ulang tahun, bingkisan itu diberikan ketika saya berulang tahun yaitu bulan September.
Saya sangat terharu. Saya tidak pernah meminta apapun padanya. Alhamdulillah,
semua yang diberikan untuk saya dan anak saya bermanfaat. Tentu saja kerudung
putih sering saya pakai, saya padu padankan dengan seragam abu-abu. Untuk mukena
jelas saya pakai setiap hari lima kali.
Mukena pemberian Hidayat kainnya ringan, dengan sedikit bordir. Menurut saya
mukena tersebut simpel, sangat sesuai untuk saya yang sederhana. Setiap saat saya
selalu mengingat anak asuh saya.
Meskipun sekarang tak lagi menjadi anak asuh saya, akan tetapi saya akan
terus mengingatnya. Saya tidak akan melupakan Hidayat yang pernah menjadi anak
asuh saya. Selama mukena itu saya pakai atau dipakai orang lain, maka pahala
untuk Hidayat akan terus mengalir.
Untuk saat ini kami jarang berkomunikasi karena kesibukan saya dan
Hidayat. Saya selalu berpesan pada Hidayat untuk mencari rezeki yang halal,
menjaga shalat dan menjaga akhlak. Semoga Allah senantiasa membimbing setiap
langkah Hidayat, amin.
"Tulisan Ini Diikutkan dalam Giveaway Menyambut
Ramadhan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar