KELANGAN
BECAK
Oleh
: Noer Ima Kaltsum
Bila
ingat kejadian ini, suami saya akan tertawa terpingkal-pingkal. Ceritanya,
rumah saya yang mewah alias mepet sawah (benar-benar di tengah sawah), sering
dititipi parkir sepeda motor dan becak.
Pedagang
ember plastik, para buruh panen padi menitipkan sepeda motornya di depan rumah
saya. Pengamen memarkir motor metik/skuter di teras rumah saya, lalu pergi
mengamen di perumahan dekat rumah saya. Ada tukang becak (sudah tua, biasanya
mangkal di sekitar rumah sakit umum daerah) yang memarkir becaknya di bawah
pohon mangga. Tukang becak tadi lantas pergi ke perumahan, pekerjaan
sampingannya adalah mengemis.
Tetangga
saya yang tinggal di perumahan sering bercerita. Tukang becak tersebut ajek
mengemis seminggu dua kali. Becaknya di parkir di depan rumah saya. Sebenarnya
anak-anak Pak Tukang Becak melarang dan malu kalau bapaknya mengemis.
Suatu
hari tukang becak tadi setelah mengemis hanya berjalan kaki menuju jalan raya.
Suami saya mengejar tukang becak tersebut.
“Pak,
pak, kok Cuma jalan kaki. Becaknya dimana?”tanya suami.
“
Becak saya ilang. Saya kelangan becak.”jawab tukang becak tanpa ekspresi.
“Memang
becaknya tadi ditaruh di mana?”
“Di
bawah pohon mangga, rumah tengah sawah itu.”
“Udah
dicari belum, Pak?”
“Males
Mas.”
Hari
menjelang maghrib, agak gelap. Suami menunjukkan becak milik Pak Tukang Becak.
Ternyata becaknya tidak hilang. Sengaja sama suami saya ditaruh di samping
rumah, tapi tertutup semak-semak.
“Makanya
jangan menaruh becak di depan rumah itu. Kalau hilang beneran gimana?”
Pak
Tukang becak menuntun becak, setelah sampai di jalan depan rumah, lalu becak
dinaiki. Pak Tukang Becak tadi tidak mengucapkan terima kasih babar blas.
Oalah, jadi tadi memang disembunyikan, ta?
Ternyata ide menyembunyikan becak berasal dari orang-orang perumahan.
Suami saya hanya pelaksana saja.
Karanganyar, 5 September
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar