MOS (MOPD) SEPERTI PERPLONCOAN, SEORANG IBU PROTES
Hari Kamis-Sabtu, 9-11 Juli merupakan awal tahun
pelajaran 2015/2016. Bagi siswa baru (sengaja tidak saya gunakan kata peserta
didik baru) baik kelas VII SMP dan kelas X SMA/SMK, biasanya mengikuti MOS (Masa
Orientasi Siswa) atau sekarang disebut MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik).
Kegiatan MOS seharusnya diisi dengan hal-hal positif
(pasti sudah ada materi dan petunjuk pelaksanaannya). Jangan sampai MOS
digunakan sebagai ajang perploncoan. Sudah tidak jamannya lagi. MOS diisi
dengan hal-hal yang positif yang kelak bisa digunakan sebagai bekal menerima
pelajaran. Tidak perlu ada perploncoan, apalagi bila peserta berbuat
kesalahan/terjadi pelanggaran lalu peserta diberi hukuman fisik. Itu tidak
mendidik. Tidak ada hubungan antara kecerdasan intelektual dengan hukuman fisik
saat MOS.
Sekarang peserta sedang menjalani ibadah puasa, tentu
saja sekuat-kuatnya fisik anak, pada saat ini lemah juga. Udara memang dingin
akan tetapi sinar matahari cukup terik.
Bagi Panitia MOS (dalam hal ini OSIS) berikanlah tugas
kepada peserta tidak yang aneh-aneh, di mana peserta tidak bisa memenuhinya.
Ingat : ini nanti akhirnya kalau peserta melanggar bisa berakibat diberi
hukuman psikis (fisiknya juga).
Salah satu contoh yang mengalami MOS tahun ini adalah anak
saya sendiri. Alhamdulillah setelah diterima di sekolah favorit, hari Rabu
kemarin diberi tugas yang akan dibawa untuk hari Kamis (hari pertama MOS). Dan
diberi syarat untuk sampai di sekolah tidak boleh di antar. Sampai di sekolah
jam 05.50 WIB.
Bisa dibayangkan sebagian peserta MOS rumahnya jauh
dari sekolah. Kendaraan yang bisa mengangkut mereka terbatas. Konon katanya pengurus OSIS sudah
berjaga-jaga di tempat tertentu, jadi bila ada yang diantar sampai jalan raya saja
juga ketahuan. Bagi peserta yang melanggar akan diberi peringatan panjang
lebar.
Beberapa barang yang harus dibawa sesuai perintah
memang tidak menyulitkan semua, tapi ada satu barang yang mencarinya sulit.
Tidak semua toko/warung/kios menjualnya. Hari Rabu pulang dari sekolah, anak
saya bersama temannya (teman sejati, dari TK, SD, SMP, hingga SMA satu sekolah,
dan anak saya sering ke rumah temannya tadi, namanya Zulfa) mencari barang yang
dimaksud. Hanya satu yang belum didapat yaitu bolpoin. Kebetulan di toko
tinggal satu. Akhirnya bolpoin itu untuk Zulfa.
Untuk perempuan, bolpoin warna biru merek Queen dan
untuk laki-laki warna pink. Nah kesulitannya adalah mereknya tertentu itu.
Karanganyar bukan kota besar. Toko-toko juga tidak semua menjual bolpoin merek
yang dimaksud. Inilah kesulitannya. Dan saya harus rela mengantar anak saya ke
mana saja, agar mendapatkan bolpoin itu. Sebenarnya harganya tidak mahal. Hanya
seribu lima ratus rupiah. Bukannya saya takut nanti anak saya dihukum bila tak
membawa bolpoin tersebut, lebih karena tidak rela anak saya dihukum.
Inilah perjalanan saya dan anak saya setelah shalat
ashar. Toko yang saya masuki tidak ada bolpoin yang dimaksud. Toko Sami Seneng-
Seribu- Cikini- Lalung-Rengga-Grosir-SFA-4 kios- Indah-Asri-Alfamart-Rahayu-Mitra-Remaja.
Hingga akhirnya 10 menit lagi azan maghrib berkumandang kami belum mendapatkan
bolpoin. Akhirnya saya bilang ke anak saya,
“Nok, coba kita cari di depan SMP N 2 Karanganyar,
sekolahanmu dulu.”
Meluncurlah kami ke TKP sambil menyempatkan membeli
the hangat dan tempe goring. Sampai di depan Waris Asih depan SMP N 2
Karanganyar, azan berkumandang. Saya dan Nok Fai berbuka puasa dengan minum the
dan makan tempe. Anak saya menuju Waris Asih. Sebentar kemudian dia keluar
dengan wajah berbinar. Sambil menunjukkan bolpoin dia berteriak girang,
“Mami, ada banyak.”
“Beli yang banyak, siapa tahu temanmu ada yang belum
dapat.”
Lega, plong.
00000
Kamis, 9 Juli 2015. Setelah shalat subuh Fai sudah
diantar ayahnya ke tempat pemberhentian bis. Saya menunggu cerita anak saya
selanjutnya setelah dia pulang sekolah. Pulang sekolah dia bercerita kalau
sampai sekolah jam 06.00. Itu artinya terlambat 10 menit. Dan teman-temannya yang
terlambat banyak sekali. Permasalahannya sama, transportasi terbatas. Sebenarnya
tidak dihukum, hanya diceramahi oleh pengurus OSIS. Tapi kok saya tetap tidak
terima ya. Berangkat setelah shalat subuh. Apa harus berangkat sebelum subuh?
Kata Fai ketika apel pagi ada yang pingsan. Saya Tanya
macam-macam akhirnya Fai bilang,
“Aku nggak akan cerita MOS lagi. Soalnya kalau tidak
sesuai dengan keinginan mama, mama nanti mau nulis di media. Ma, peserta MOS
itu hepi kok dihukum. Kita guyon-guyon. Kakak kelas akhirnya juga beramah-tamah
dengan kami.”
Diam-diam saya perhatikan anak saya. Sepertinya dia
tidak terbebani. Alhamdulillah kalau kegiatan MOS menyenangkan. Tapi kalau
nanti fisik dan psikisnya terganggu saya akan member masukan ke sekolah. Semoga
saja kekhawatiran saya tidak menjadi kenyataan.
Hari ini, Jumat, 10 Juli 2015 setelah shalat subuh Fai
diantar ayahnya ke tempat pemberhentian bis yang lebih mendekati sekolah. Ya,
sudahlah biar mandiri. Semoga sepulang sekolah nanti tidak ada cerita yang tak
mengenakkan. Amin.
Karanganyar, 10 Juli 2015
Ini catatan hari ini saya tentang MOS.
Tulisan ini juga
tayang di kompasiana : http://www.kompasiana.com/noerimakaltsum/mos-mopd-seperti-perploncoan-seorang-ibu-protes_559f4a2c197b618a048b456c
Tidak ada komentar:
Posting Komentar