Masa remaja penuh dengan
bunga-bunga cinta, itu tidak berlaku padaku. Bapak memang berlaku sangat keras
dan tegas terhadap anak-anaknya. Semua itu dapat dipetik hikmahnya. Aku sangat
bersyukur karena Bapak sejak awal melarang aku berpacaran. Bagi Bapak berteman
atau bersahabat boleh-boleh saja. Akan tetapi bila seorang teman laki-laki
sudah sering datang ke rumah, Bapak akan menaruh curiga yang sangat besar. Bisa
jadi Bapak mengusir temanku . Beruntung, Bapak belum pernah melakukan itu
sebab aku sendiri tidak mau teramat dekat dengan lawan jenis.
Bapak inginnya aku focus sekolah
dan menjadi muslimah manis dengan mengikuti kegiatan masjid terdekat. Bapak lebih
suka bila aku banyak mengikuti kegiatan di masjid. Misalnya kegiatan Ramadhan,
Hari Besar Agama Islam, Pengajian Rutin Jumat Malam untuk orang tua (padahal
aku masih gadis, bukan ibu-ibu loh. Ada-ada saja Bapakku ini), dan Pengajian
anak-anak/TPA.
Ternyata ketika aku remaja
memang asyik juga. Karena aku sering terlibat pada kegiatan masjid, aku lebih
dikenal daripada saudara-saudaraku yang lain. Tapi konsekuensinya aku tidak
bisa sembarangan bergaul dengan lawan jenis. Soal pacaran, Bapak melarang
keras.
Namanya juga aktif di setiap
kegiatan kampung/masjid, lama-lama kok ya ada tetangga naksir aku. Padahal aku
merasa wajahku biasa-biasa saja. Batinku, halah laki-laki ganteng, mbok kamunya
pilih yang lain saja. Bukan apa-apa, Bapakku galak banget. Kamu menyesal dekat
denganku. Aku pakai kerudung loh! (Memang sejak tahun 1991 resmi aku pakai
kerudung ke mana saja aku pergi. Sebelumnya, ketika SMA memakai kerudung hanya
pas mengaji atau bepergian jauh saja). Dan aku tidak mau pacaran. Kamu nanti
menyesal, lalu bercerita di luar kalau aku orang yang sok (memberikan penilaian
negative hanya karena cintamu tak kutanggapi).
Alhamdulillah, ada jalan
untuk menolak laki-laki ganteng itu. Tapi ini sebenarnya ceritanya tragis dan
sempat melelehkan air mataku. Ceritanya tahun 1989 (lebih dari 25 tahun yang
lalu ya mak!), sepulang sekolah aku dimarahi Bapak habis-habisan. Kebetulan Bapak
membuat barang dari kayu seperti almari dan kursi di rumah. Padahal sungguh aku
tak tahu penyebabnya. Sampai sekarang aku ingat betul kata-kata Bapak.
“Tidak usah sekolah saja. Memalukan
orang tua!”
Kata-kata Bapak selebihnya
amarah. Tapi sungguh aku tak tahu penyebabnya. Aku menangis karena tak tahu harus
berbuat apa. Perih banget, Bapak yang keras dan tegas tidak mau mengatakan
alasannya.
Setelah shalat, aku tidur. Sore
harinya, kakakku yang bekerja di lab biologi mengajakku mencari tanaman untuk
praktek mahasiswa. Di sepanjang perjalanan kakakku bercerita tentang peristiwa
siang itu dan mengapa Bapak menjadi marah.
Siang itu Bapak kedatangan
tamu tak diundang. Beliau seorang perempuan yang sudah setengah baya memakai
kain kebaya dan jarik. Perempuan setengah baya tadi bilang pada Bapak agar aku
tidak mendekati anak laki-lakinya dengan alasan bla-bla. Wusss, Bapak yang
mudah emosi mengiyakan kata-kata perempuan tadi dan bersiap-siap memarahiku. Bapak
tidak bertanya baik-baik alias kroscek ke aku dulu. Bapak memang begitu, kalau
sudah bilang pokoknya maka tak ada yang berani membantah.
“Oalah, jadi itu to yang
membuat Bapak marah.”
Perempuan itu adalah penjual
jamu keliling di kampung. Beliau adalah ibu dari laki-laki ganteng yang naksir
aku. Untung aku memiliki kesabaran yang tinggi. Kuambil nafas dalam-dalam. Aku beristighfar,
astaghfirulloh.
Benar, hari berikutnya
laki-laki itu menemuiku ketika aku pulang sekolah.
“Mulai sekarang jauhi aku. Sudah
sejak awal aku bilang jangan dekati aku!”
Aku tak perlu menjelaskan
panjang lebar. Cukup sampai di sini saja! Aku lebih memilih keluargaku daripada
berteman dengan orang membuat hidupku penuh dengan penderitaan. Huhhh.
00000
Tak lama kemudian tetangga
satu gang ada yang naksir aku. Wuih, benci banget aku. Kok aku harus mengalami
ini lagi. Sebut saja Boy. Boy orangnya tidak terlalu tinggi, bicaranya gagap,
kaki dan tangan sebelah tidak normal. Aku menghargai Boy, karena dia tetangga
dekat. Setiap kegiatan selalu bersama-sama. Tentu saja dia salah alamat banget
kalau suka padaku.
Oit, jangan punya prasangka
buruk dulu padaku. Boy ini masih percaya klenik. Keluarganya juga kental banget
dengan klenik. Suatu hari dia mengatakan suka denganku. Saat itu aku tak
menjawab. Aku harus menyusun kata-kata agar tidak menyinggung dirinya. Bagaimana
caranya agar penolakanku tak membuat hatinya perih dan terluka. Aku terus
berpikir keras, memutar otak.
Keluargaku juga tahu kalau
Boy suka padaku. Keluargaku juga bingung mau memberi solusi. Takut menyinggung
Boy dan keluarganya. Kalau langsung menolak, nanti dikira tidak mau menerima
Boy karena keadaan fisiknya. Ya Allah, berilah makhluk cantik ini (namaku Kaltsum memiliki arti cantik) jalan keluar.
Aku belum juga diberi jalan
keluar. Bapak hanya mengingatkanku untuk tidur di lantai hanya beralaskan
tikar. Kenapa begitu? Agar aku aman dari bentuk santet dan kiriman mara bahaya.
(Konon katanya santet mudah dikirim dan mengenai sasaran yang berada pada
tempat yang panas/hangat. Logikanya : syetan > jin > api > panas). Masuk
akal juga. Ya udah demi kebaikan, moga-moga saran Bapakku yang sholeh ini
manjur.
Suatu hari orang tua Boy
mengirimi oleh-oleh pada keluargaku. Keluargaku tidak hepi dan bahagia. Bapak
dan ibu serta bulik tahu isyarat oleh-oleh itu. Ada lemper, beras ketan putih,
wajik. Pokoknya makanan yang berbahan dasar ketan. Ketan itu lengket. Artinya biar
aku lengket atau kelet atau terkanthil-kanthil. Ya Allah, beri
aku jalan keluar!
Aku sudah menyiapkan
jawaban. Dan aku sudah siap dengan pernyataanku. Semoga Allah memudahkan
urusanku. Bismillah. Aku diminta datang oleh keluarga Boy. Setelah ngobrol
dengan keluarganya cukup, mereka meninggalkan aku dan Boy.
“Boy, apa hari pasaranmu?”tanyaku.
“Wage.”jawabnya.
Yes! Itu yang aku
nanti-nanti wage atau pahing. Kalau dia bilang wage, maka aku akan berbohong
kalau aku pahing. Sebaliknya kalau dia pahing, aku akan bilang wage. Menurut kepercayaan
orang Jawa dan yang masih percaya klenik, tidak boleh ada pernikahan kalau
pasangan itu hari lahirnya berpasaran wage dan pahing yang biasa disebut
Ge-ing. Karena pasangan Ge-ing rumah tangganya tidak akan bahagia.
“Aku pahing.”
“Pahing?”
00000
Boy bilang tidak akan
melanjutkan hubungan denganku (padahal aku tak merasa punya hubungan special secuil
pun). Sebab orang tua dan keluarganya tidak mau nekat dengan melawan mitos
Ge-ing.
Yes, Alhamdulillah. Terima kasih
ya Allah. Aku telah berbohong demi kebaikan. Semoga Allah mengampuniku. Beberapa
bulan kemudian Boy menikah dengan tetanggaku juga. Dan isteri Boy adalah perempuan
yang rumahnya di depan rumah Bapakku. Blaik!
Sampai sekarang aku geli
sendiri dengan mitos Ge-ing tadi. Sebab aku lahir bukan di pasaran pahing,
melainkan Pon.
Karanganyar, 23
September 2015
Cerita ini diikutsertakan pada GA yang diselenggarakan oleh www.listeninda.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar