Enam
bulan yang lalu kehadiranku di rumah saudara ini mungkin menimbulkan banyak tanya para tetangga. Akan
tetapi saudaraku, Mas Budi dan isterinya, secepatnya melapor pada pengurus RT.
Kata Mas Budi waktu itu, aku adalah saudaranya yang akan menetap di rumahnya.
Rumah
Mas Budi tadinya sepi, setiap pagi sampai sore tak berpenghuni. Setelah aku
hadir di tengah keluarga Mas Budi rumah menjadi kelihatan lebih hidup. Rumah
dengan halaman luas aku sulap menjadi hutan. Semua itu atas ijin Mas Budi.
Sedikit demi sedikit aku isi halaman rumah dengan tanaman sayutan dalam pot.
Ada juga tanaman dalam polibag.
Mas
Budi mengatakan pada tetangga kalau aku pendiam. Tidak banyak bicara. Bukan
berarti aku sombong. Sebenarnya aku ramah. Lama kelamaan aku hafal dengan
tetangga. Bertegur sapa tidak harus dengan ngobrol. Aku cukup tersenyum bila
sekali tempo bertemu langsung dengan tetangga.
Aku
memang pelit untuk bicara. Dengan Mas Budi, isteri dan anak-anaknya aku juga
jarang bicara. Aku batasi bicaraku, aku harus menutup diri. Aku takut kalau
banyak bicara aku akan mengobral cerita. Ceritaku tersebar ke mana-mana. Cukup
keluargaku saja yang tahu tentang aku.
OOOOO
Seperti
pagi sebelumnya aku mulai untuk bekerja di halaman rumah yang semakin asri.
Beberapa sayuran sudah siap panen. Aku sudah bilang pada isteri Mas Budi untuk
mengundang tetangga. Aku ingin melihat orang lain senang memanen sayuran
sendiri di kebun.
Karena
belum ada tetangga yang datang ke rumah ini, aku memanen sendiri hasil kebun. Hasil
panen aku kumpulkan dalam tas. Aku berharap isteri Mas Budi mau membagi-bagikan
hasil panen pada tetangga.
Di
bawah pohon mangga aku beristirahat sambil membersihkan rumput. Tiba-tiba mataku
tertuju pada becak yang melintas di jalan depan rumah. Iseng-iseng pandanganku
mengikuti jalannya becak. Becak itu
berhenti di depan rumah tingkat bercat hijau. Dua orang penumpang turun dari
becak.
Aku
melanjutkan pekerjaanku. Setelah semuanya selesai perasaanku lega. Satu pekerjaan
berhasil kuselesaikan dengan sukses. Aku mengerjakan pekerjaan yang lain.
Sebagai penulis lepas, aku bebas kapan memulai dan mengakhiri pekerjaanku.
Untuk
menulis artikel, aku tidak mematok target. Prinsipku aku harus konsisten
menulis setiap hari. Waktunya tidak mengikat, kapan pun aku lakukan. Aku memang
orang merdeka.
Sejak
aku melihat becak menurunkan penumpang beberapa hari yang lalu, aku jadi
mempunyai bahan untuk tulisanku. Setiap pagi aku melihat seorang laki-laki
bersama tetangga berjalan di depan rumah Mas Budi.
Walaupun
pagi hari, tapi lelaki itu selalu memakai topi. Sepertinya, dia tidak mau
diketahui oleh orang lain. Kalau aku tak banyak bicara dan menjadi pendiam
untuk menutup diri. Akan tetapi laki-laki itu diam, entah karena apa?
Suatu
hari Mas Budi bercerita tentang lelaki yang diam bertopi saudara tetangga.
Laki-laki yang diam karena mengalami depresi. Laki-laki yang diam itu bukan
caleg yang gagal. Laki-laki yang diam itu bukan caleg yang telah menghabiskan
puluhan bahkan ratusan juta. Tapi laki-laki itu masih erat dengan pileg tahun
ini.
Laki-laki
itu adalah tim sukses dari seorang caleg. Kebetulan caleg yang dipromosikan
tersebut juga berhasil meraih suara. Artinya sang caleg kemungkinan besar bisa
masuk gedung DPRD.
Mendengar
kata-kata tim sukses aku jadi ingat laki-laki yang kutinggalkan beberapa bulan
yang lalu. Aku meninggalkan kampung halaman, meninggalkan semuanya. Aku
meninggalkan orang yang aku sayangi.
Aku
tidak suka politik. Sebelumnya aku tidak tahu kalau calon suami suka di dunia
politik. Tidak dengan cekcok yang hebat. Cukup aku dan calon suami yang tahu.
Kuselesaikan masalahku dengan cara cerdas dan dewasa.
Waktu
itu aku hanya bilang,”Ternyata kita beda. Dunia kita beda. Aku tidak suka dunia
politik. Aku tidak mau membangun keluarga di atas prinsip yang berbeda. Aku
tidak buta politik. Tapi aku tak mau berspekulasi masuk di dalamnya.”
Calon
suami bukan caleg yang maju di pileg. Calon suami hanya tim sukses. Bagiku sama
saja. Aku tidak mau berlarut-larut. Mumpung belum terlanjur. Walaupun hubungan sudah
terjalin serius, tapi aku harus mengambil sikap. Perpisahan ini jalan terbaik.
Untuk
melupakan semuanya, aku harus meninggalkan kampung halaman. Akhirnya kuputuskan
untuk tinggal di tempat yang jauh dari keramaian. Di sebuah desa yang terletak
di sebelah timur kota Solo.
Aku
lebih senang lagi karena keluarga Mas Budi memiliki rumah yang lain. Terletak
di bawah lereng Gunung Lawu. Desa Kemuning, tempat yang sejuk. Sejauh mata
memandang yang kulihat adalah hijau, sawah, kebun teh, dan kebun sayuran.
Sekali
tempo aku diajak ke desa Kemuning. Benar-benar suasana yang dapat menyegarkan
pikiran. Di sinilah kemampuanku menulis diuji. Dengan bekal kamera manual dan
digital yang kumiliki aku bisa mencari kemudian menuliskan berita.
OOOOO
Hari
Minggu pagi ini aku lihat keluarga Mas Budi berada di depan rumah. Mereka
melakukan kegiatan dengan rasa suka cita. Tiba-tiba laki-laki yang diam bersama
tetangga memasuki halaman rumah. Mereka berbincang-bincang akrab. Laki-laki
yang diam itu bahkan melihat-lihat sayuran dalam pot dan polibag. Sesekali
laki-laki yang diam itu memegang sayuran.
Dari
balik kaca jendela aku perhatikan laki-laki yang diam itu. Laki-laki yang diam
itu membuka topinya. Aku membalikkan badan meninggalkan jendela.
Aku
menyiapkan sarapan dan teh panas buat keluarga ini. Semua sudah siap. Menunggu
keluarga ini masuk rumah, aku membuka catatan kecilku. Aku goreskan pena lagi
membentuk beberapa kalimat untuk melengkapi tulisanku.
“Masakan
Tante Ima enak.” Andri, anak kelas 2 SD itu memuji.
“Iya.
“ sahut Rafi, kakaknya.
Aku
menghentikan pekerjaan lalu bergabung dengan mereka. Pagi ini suasana akrab di
ruang makan. Kata isteri Mas Budi hari ini akan ke Kemuning lagi. Tapi bersama
tetangga dan laki-laki yang diam itu. Oh. Berarti aku tidak usah ikut.
Rafi
dan Andri selesai makan langsung melihat TV. Mereka memilih acara yang menarik,
film kartun.
“Kasihan
laki-laki itu.” Mas Budi membuka pembicaraan.
“Memang
ada apa?” tanyaku.
“Dia,
Mas Hanung namanya, korban caleg. Sebagai tim sukses yang berhasil memengaruhi
orang-orang untuk memilih caleg. Begitu caleg berhasil mengumpulkan suara
banyak, caleg ingkar janji. Caleg berjanji bila berhasil lolos dalam pileg,
akan membagi-bagi uang. Tetapi nyatanya tidak. Mas Hanung setiap hari ditagih
sama orang-orang. Sementara sang caleg hanya melambaikan tangan alias bye-bye.
Mas Hanung akhirnya depresi. Sempat masuk rumah sakit. Tapi minta pulang. Dia
ingin menenangkan diri di Tawangmangu. Padahal beberapa bulan sebelumnya dia
telah mengorbankan banyak hal. Di antaranya adalah perempuan yang sebentar lagi
mau dinikahinya.”
“O,
begitu.”kataku
“Aku
menawarkan untuk tinggal di rumah Kemuning sementara waktu.”
Aku
diam. Begitu baiknya keluarga Mas Budi. Sampai-sampai menawarkan rumah asrinya
untuk pengobatan orang sakit.
OOOOO
Siang
ini keluarga Mas Budi mengantarkan Mas Hanung, laki-laki yang diam ke rumah di
Kemuning. Mengantarkan laki-laki yang diam yang telah memilih melepaskan aku
demi caleg yang dipromosikannya. Laki-laki yang diam justeru menjadi korban
caleg berhasil yang ingkar janji. Beruntung dulu aku tidak mau terlibat
sedikitpun.
Biarlah
Mas Hanung tak lagi berhasil mengenalku selama beberapa hari ini. Biarlah semua
aku simpan sendiri. Keluarga Mas Budi tidak tahu lebih jauh tentang aku dan
laki-laki yang diam. (SELESAI)
Karanganyar, 28 April
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar