Menunggu Faiq di rumah sakit,
saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu saat adiknya (Faiz) sering sakit.
Adiknya keluar masuk rumah sakit sampai 4 kali. Dahulu saat sakit keadaan Faiz
mengkhawatirkan. Faiz mengalami kejang demam biasa. Bila mulai batuk dan pilek
selalu disertai panas yang tinggi. Rupanya Faiz tidak tahan. Alhamdulillah Faiz
sekarang sehat wal afiat.
Kali ini Faiq akan menjalani
operasi ringan, mengambil benjolan yang ada di mulut. Benjolan di mulut
tersebut bahasa kedokterannya adalah tumor bibir. Kebanyakan orang mengatakan
mata ikan atau bahasa kerennya kutil. Sebenarnya Faiq tidak merasa sakit dengan
keberadaan benjolan itu. Hanya saja Faiq risih sehingga giginya usil
menggingit-gigit benjolan tersebut hingga keluar darah.
Setelah saya pastikan
mentalnya sudah siap untuk menjalani operasi, maka Ayahnya segera mengantarnya
ke rumah sakit PKU Muhammadiyah, Karanganyar. Faiq menjalani pemeriksaan mulai
pengambilan sampel darah, rongent, dan lain-lain. Ketika saya tiba di rumah
sakit, Faiq masih berada di UGD karena kamar penuh. Beberapa saat kemudian Faiq
dipindah ke bangsal. Saya pulang bersama si kecil. Tidak mungkin saya dan Faiz
tidur di RS.
Saya sudah pasrah segalanya
ke suami dan percaya kalau suami menunggu Faiq sampai siang. Saya salah sangka
karena jam delapan pagi harinya Faiq menelepon saya. Dia bilang jam sembilam
mulai puasa, padahal setelah sarapan di kamar tidak ada makanan sama sekali. Ayahnya
juga tidak membelikan makanan kecil sama sekali. Ternyata Faiq hanya sendirian,
Ayahnya tetap mengajar.
Saya minta izin pada Bapak
Kepala Sekolah untuk menunggu Faiq sebentar. Sampai di rumah sakit saya
serahkan susu dan roti. Waktu untuk makan tinggal 20 menit. Setelah jam Sembilan
tepat saya meminta Faiq untuk mulai berpuasa. Saya berpesan pada Faiq agar
benar-benar tidak makan. Kalau berbohong, resiko ditanggung sendiri. Lalu saya
kembali ke sekolah dan mengajar.
Sore hari, Faiq belum juga
dipanggil untuk operasi. Jadwalnya mundur karena pasien yang akan menjalani operasi
banyak, antriannya panjang. Di kamar, Faiq mulai merasakan perut nyeri, melilit
atau lapar. Saya bilang bertahan, agar puasanya tidak diulang dari awal. Sampai
maghrib, Faiq belum juga menjalani operasi. Saya terpaksa meninggalkan Faiq dan
Ayah. Saya dan Faiz harus pulang dan tidur di rumah. Kalau tidak dalam keadaan
darurat, sebisa mungkin si kecil tidur di rumah sendiri. Sebenarnya saya tahu
lingkungan rumah sakit tidak ramah buat anak seusia Faiz (5 tahun). Apa boleh
buat, karena kami tak memiliki asisten rumah tangga, maka Faiz harus saya ajak ngalor-ngidul.
Kesabaran saya harus diuji. Sampai
di rumah Faiz menangis. Si kecil memang lebih dekat dengan Ayahnya daripada
dengan saya. Faiz ingin saya menghubungi Ayah lalu Ayah disuruh pulang. Hati saya
semakin perih taktaka Faiz saya tinggal berwudhu. Ketika saya ke kamar sebelum
sholat, saya mendapatkan Faiz tidur tengkurap sambil menangis ditahan seraya
menyebut Ayah. Saya dekati dia, saya peluk. Dan saya pastikan dia nyaman berada
di sisi saya. Sebentar kemudian dia terlelap. Alhamdulillah, rewelnya Faiz
hanya karena dia mengantuk saja.
Setelah sholat Isya, saya
tiduran. Akhirnya tidur juga. Pukul Sembilan malam saya mendengar nada sms
masuk. Saya membuka hp, ayah mengirimkan kabar bahwa Faiq masuk ruang operasi. Saya
terus berdoa semoga semuanya lancar. Sebentar kemudian saya terlelap. Saya sendiri
beberapa hari kurang tidur hingga begitu ada serangan kantuk, mata ini terus
terpejam tak mau diajak kompromi.
Pukul sebelas malam kembali
hp saya berdering. Suami mengabarkan bahwa operasi berjalan dengan lancar dan
Faiq dalam keadaan sehat. Malah Faiq juga sudah ikut bicara. Alhamdulillah, saya
lebih nyaman tidur lagi.
00000
Hari Sabtu, saya mengajar
jam ke-1 dan ke-2. Selesai mengajar saya menuju rumah sakit. Di kamar ternyata
ada adik ipar saya yang menunggu Faiq. Ayah mengajar, pagi tadi pulang jam
setengah delapan. Alhamdulillah, Faiq tidak menolak makanan dan minuman yang
saya bawa. Karena adik ipar juga punya urusan sendiri, saya meminta pada dia
untuk pulang.
Ketika dokter spesialis
melakukan visit, dia mengatakan kondisi Faiq baik dan sore ini boleh pulang. Selama saya di rumah sakit, saya melayani ini
itu untuk anak saya. Setelah selesai mengurus administrasi, suami istirahat
sebentar. Beberapa saat kemudian beberapa tamu berdatangan menjenguk Faiq dari
siang hingga sore sebelum pulang meninggalkan rumah sakit.
Jam setengah enam sore kami
meninggalkan rumah sakit. Di rumah Faiq kembali bercerita, setelah sadar yang
dia cari adalah saya, ibunya. Bukan Ayahnya yang berada di sampingnya. Saya masih
ingat, 13 tahun yang lalu Faiq (2 tahun) pernah masuk rumah sakit karena sakit
muntaber. Saya tidak meninggalkan Faiq barang sebentar. Saya berada di
dekatnya. Setelah sembuh, Faiq lebih dekat dengan saya daripada dengan Ayah. Tapi
kalau Ayah akan bepergian, Faiq kepinginnya ikut Ayah.
Faiq dan Faiz, dua anak saya,
dhenok dan thole. Sampai sekarang kalau Ayah mau pergi atau sedang keluar kota
selalu saja menanyakan keberadaan Ayah. Saya heran, padahal Faiq dan Faiz beberapa
jam setelah lahir di dunia, keduanya ditinggal Ayah badminton. Ayah yang sering
menjadi panitia kejuaraan/even tertentu sering meninggalkan anak-anak meskipun
anak-anak baru lahir.
Meskipun sering ditinggal
keluar kota, Faiq dan Faiz tetap dekat dengan Ayah. Biasanya begitu di rumah,
saya selalu mengusahakan untuk mendekati anak-anak. Misalnya diajak makan di luar
atau berada di garasi melakukan aktifitas bersama.
Semoga bermanfaat.
Karanganyar, 7
September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar