Gambar 1. Faiq di PG Tasikmadu, Kab. Karanganyar
(Sumber : dok. Faiqah Nur Fajri)
Ketika
mau menikah dengan suami tahun 1999, aku mengajar di SMU Negeri I Blora di
Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kebetulan aku ikut kakakku yang pertama, yaitu
Mas Inung. Sedangkan suami waktu itu sudah diangkat menjadi PNS, mengajar olah
raga di Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Setelah menikah, kami tidak serta merta tinggal serumah. Aku harus
menyelesaikan tugas mengajarku hingga kenaikan kelas. Jadilah, meski sudah
menikah kami pacaran jarak jauh.
Awal-awal
pernikahan suami sudah mempunyai niat untuk membantu saudaranya (sepupu)
meringankan beban dengan membayari SPP. Bagiku tidak masalah, semoga kelak
menjadi ladang amal buat kami sekeluarga. Kebiasaan membantu saudara atau siapa
saja berlanjut hingga sekarang. Bahkan yang kami bantu bukan famili.
Dua
bulan setelah menikah, aku merasakan lemas, tidak bergairah, nafsu makan
berkurang drastis. Biasanya dulu kalau tidak nafsu makan aku sering makan
salak. Tapi kali ini tidak selera makan salak, umbi-umbian, nasi, dan semua
makanan. Aku tidak merasakan mual atau muntah. Penasaran dengan keadaanku, aku
berinisiatif ke Puskesmas untuk memastikan “ada apa denganku?”. Alhamdulillah,
aku positif hamil.
Perhatian
suami, mertua, dan ipar-iparku bertambah. Karena aku mengandung calon cucu pertama,
maka ibu mertua memberikan perhatian yang berlebihan. Aku tidak minta ini-itu,
karena aku tidak bernafsu untuk makan. Akan tetapi justeru ibu mertua yang
menawariku macam-macam makanan.
Satu
lagi yang membuatku tambah tidak bernafsu makan yaitu bau lingkungan rumah
mertua yang tidak sedap. Kebetulan di rumah mertua ada sapi, ayam, dan burung
dara sebagai hewan ternak. Bau tidak sedap itu berasal dari kotoran hewan dan
pakan sapi dari ampas singkong dan ampas
tahu.
Suatu
hari aku pulang ke rumah orang tua kandung ke Yogyakarta. Kebetulan Ibu masak
nasi kuning. Satu piring nasi kuning beserta lauknya ludes aku lahap.
Setelah kembali ke Karanganyar, aku
tidak bernafsu makan lagi. Aku berpikir, kalau tidak memaksakan diri untuk
makan kasihan bayi dalam kandunganku. Pasti dia akan kekurangan gizi.
Dipaksa-paksakan, akhirnya doyan makan juga.
Ujianku tidak hanya nafsu makan berkurang, setelah
kembali ke Blora untuk mengajar aku mengalami pendarahan. Itu berlangsung
selama kurang lebih satu minggu. Aku berdoa semoga Allah berkenan memercayaiku
untuk merawat dan membesarkan bayiku hingga lahir kelak dengan selamat. Aku
memang sangat kuatir sebab berada di Blora tanpa suami. Yang ada kakak
laki-lakiku dan isterinya. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik. Aku dan kandunganku sehat.
Tiba
saatnya kenaikan kelas, berarti aku pindah dari SMU I Blora dan mengikuti suami
tinggal di Karanganyar. Lega rasanya bisa berkumpul dengan suami. Tak ada lagi
rasa sepi dan sendiri. Karena setiap aku membutuhkan sesuatu tidak lagi mencari
sendiri seperti saat berpisah dengan suami.
Ketika
usia kandunganku 5 bulan, aku mengalami pendarahan lagi. Bidan yang memeriksaku
berpesan untuk hati-hati dan aku diberi obat penguat (penguat rahim,
barangkali). Setelah seminggu akhirnya berhenti juga pendarahanku. Aku sempat
kuatir. Ada apa dengan kandunganku? Aku lebih hati-hati menjaga kesehatanku.
Aktifitasku
tidak berkurang. Mengajar di sekolah SMK membuat hidupku lebih berarti.
Mengamalkan ilmu yang aku miliki sebagai amal jariyah. Insya Allah pahalanya
mengalir terus. Sayangnya, hobi menulis buku harian berhenti total. Padahal
kalau aku mau rutin menulis seperti kebiasaanku sejak kelas 2 SMP sampai lulus
kuliah, pasti tulisanku beraneka macam.
Selama
hamil aku tidak meninggalkan kebiasaan membaca Quran. Akan tetapi kebiasaanku
ini tidak diikuti suami. Sebenarnya lebih baik kalau setelah menikah ibadah
kami lebih meningkat. Setelah berjamaah pahalanya lebih banyak, bukan? Aku
tidak memaksakan diri. Aku tidak mau menggurui suamiku sendiri. Biarlah apa
yang aku lakukan menjadi teladan saja.
Tahun
2000 adalah tahun kali pertama aku merayakan Idul Fitri bersama suami. Usia
kandunganku saat itu 9 bulan, dan tinggal menunggu/menghitung hari saat
melahirkan. Menunggu pagi, siang atau sore hari. Saudara-saudaraku waktu itu
heboh, bahkan memarahiku.
Kandungan
sudah tua masih saja nekad untuk pulang kampung, naik bis lagi. Ada yang bilang
bagaimana kalau tiba-tiba kamu merasa mulas sewaktu di kendaraan atau
perjalanan. Waktu itu aku hanya menjawab, kamu belum tahu rasanya bagaimana
jauh dari keluarga sendiri? Berlebaran tidak dengan Ibu, Bapak dan
saudara-saudara? Saudara-saudaraku sebenarnya tahu kalau aku paling dekat
dengan Ibu. Maka aku heran ketika aku mudik, mereka tidak dimaklumi.
Seminggu
setelah lebaran aku merasakan mulas. Beberapa masukan dari orang-orang yang
sempat kuingat, yaitu kalau mengeluarkan air padahal tidak merasa kencing atau
mengeluarkan bercak darah itu pertanda
akan melahirkan. Sekitar jam 2 malam aku mengalami keluar air tapi tidak
kencing. Ternyata air yang keluar tidak sedikit, melainkan banyak (bukan air
ketuban, orang Jawa mengatakan kembar banyu). Setelah itu keluar bercak darah.
Kebetulan
tetangga kami bidan dan membuka klinik bersalin. Aku tidak perlu jauh-jauh
untuk mendapatkan pertolongan. Sampai di klinik rasa mulas semakin sering dan
aku tidak tahan. Mungkin mau melahirkan. Anehnya Ibu mertuaku juga ikutan
stres, mual-mual.
Detik-detik
akan melahirkan suami dan Ibu mertua juga berada di kamar bersalin. Aku tahu
bagaimana mereka memberikan semangat, dukungan dan motivasi. Perasaan luar
biasa setelah berjuang dan bayiku lahir secara normal dan sehat. Bayi perempuan
dengan berat badan 3,75 kg. Bayi yang besar mengingat badanku saja kurus. Bisa
menjadi gemuk karena selama hamil, setelah mau makan apa saja dimakan. Berat
badan selama hamil naik 18 kg dari semula 39 kg menjadi 57 kg.
Aku
dan suami sangat bersyukur karena anakku lahir sempurna. Kekuatiranku selama
hamil tidak terbukti (maklum 2 kali pendarahan, kuatir kalau nanti terjadi
apa-apa). Sewaktu masih dalam kandungan, suami mengidam-idamkan memiliki anak
pertama laki-laki. Bahkan karena di dalam perut “gerakan anakku sangat aktif”,
suami yakin anakku laki-laki.
Nama
yang disiapkan juga nama laki-laki, Faiq (artinya istimewa). Begitu lahir
perempuan maka akulah yang tetap mempertahankan nama itu untuk anakku. Faiqah
Nur Fajri dengan panggilan kesayangan Faiq.
Karanganyar, 23 Pebruari 2014 - 3 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar