Malam ini adalah malam takbiran, malam yang ditunggu
banyak orang. Seperti biasanya, di masjid-masjid, mushola dan langgar,
orang-orang melakukan takbir bersama sampai pagi hari. Apalagi sekarang di sekolah-sekolah
yang berbasis agama, juga mengadakan takbir keliling dengan jalan kaki membawa
obor. Siswa-siswa dengan semangat mengelilingi kampung. Mereka berseragam
abu-abu putih.
Adanya kegiatan takbiran semacam ini, bagiku
merupakan berkah tersendiri. Aku bisa mengumpulkan barang-barang bekas yang
digunakan untuk makan dan minum mereka. Tempat minuman plastik dan kardus
tempat kudapan dan nasi.
Aku tak perlu berkeliling mengumpulkan barang bekas,
dari tempat pembuangan sampah satu ke tempat pembuangan sampah yang lain. Aku
tak perlu mengorek-orek, memilah-milah sampah seperti saat memulung di tempat
pembuangan sampah. Di samping barang rongsokannya masih bagus, hasilnya juga
lumayan.
Besok paginya, atau beberapa hari ke depan selama
hari tasrikh, masih ada orang/pengurus/panitia kurban yang akan menyembelih
hewan kurban. Biasanya sampah plastik dan kertasnya bisa aku ambil. Aku harus
sabar mengumpulkan barang bekas ini. Mau apalagi? Aku tidak boleh mengeluh
karena ini mata pencaharianku. Pemulung.
Aku masih beruntung, bisa mengambil dan memilah
sampah di tempat pembuangan sampah di kompleks perumahan. Di tempat-tempat atau
kampung tertentu, ada larangan pemulung masuk kawasan tersebut.
00000
Hari ini hasil pengumpulan plastik dan kardus
lumayan banyak. Beberapa orang perumahan yang aku temui memberikan makanan
kecil dan nasi bungkus. Bagiku, ini adalah rejeki dari Yang Maha Kaya, yang
harus aku syukuri. Biasanya nasi bungkus dengan lauk daging sapi atau kambing
berupa gulai, tongseng, semur, atau empal.
Sudah beberapa hari aku tidak mencari
sampah/barang-barang yang bisa aku jual di tempat pembuangan sampah. Seperti
hari-hari sebelumnya, setiap aku menuju tempat pembuangan sampah di perumahan,
aku biasa berhenti di depan rumah yang ramah lingkungan. Sebenarnya rumah yang
ramah lingkungan ini berada di dekat sawah. Halamannya yang luas ditanami
pohon-pohon tahunan yang menghasilkan buah.
Meskipun pohonnya banyak, sampah daunnya banyak,
tetapi rumah itu asri dan teduh. Di halaman tersebut terdapat tempat penampungan
sampah khusus plastik dan kertas. Sampah daun atau bahan organik ditempatkan di
dalam tong besar. Sampah daun/bahan organik tersebut digunakan untuk membuat
kompos.
Setiap aku mencari rongsokan di tempat penampungan
sampah rumah itu, aku mendapatkan sampah yang masih bersih. Sebab plastik dan
kertas tersebut tidak bercampur dengan sisa-sisa makanan atau minuman.
Setelah selesai, aku menuju tempat pembuangan sampah
di perumahan. Dari jauh aku sudah mencium bau yang sangat menyengat. Sebagai
seorang pemulung, hal semacam itu sudah biasa. Bagi sebagian orang, kehidupan
seorang pemulung identik dengan kumuh, dan bau tak sedap.
Tempat pembuangan sampah di perumahan berupa rumah
kecil tanpa sekat. Ukuran 2m x 2m, satu meter dari tanah dindingnya berkeramik.
Lantainya juga keramik (bekas). Tempat pembuangan sampah di perumahan ini jauh
lebih baik dibandingkan dengan rumahku.
Tiba di depan pintu TPS, bau tak sedap sangat
menusuk hidung. Lalat ada di mana-mana. Dari sampah-sampah itu kulihat keluar
belatung-belatung. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa. Lihat
belatung di TPS, itu lumrah dan biasa.
Lalat, semut, belatung dan serangga lainnya ikut
berpesta pora menikmati sampah-sampah. Tapi pagi ini jumlah mereka luar biasa.
Ternyata dari bungkus-bungkus makanan, baik dari plastik, kertas maupun daun
keluar belatung dalam jumlah banyak.
Ada sesuatu yang tidak beres dengan orang-orang
perumahan. Mengapa orang-orang perumahan tidak belajar ramah lingkungan pada si
pemilik rumah dekat sawah? Seharusnya sisa-sisa makanan itu tak perlu berada
dalam bungkusan. Biarkan sisa-sisa makan diuraikan mikroorganisme. Dikumpulkan
dalam suatu wadah, lalu di buang di tempat penampungan khusus. Dengan demikian
bila terjadi pembusukan dan keluar belatung kejadiannya tidak seperti ini.
Dalam hitungan detik, belatung itu memenuhi ruangan
TPS. Jumlahnya bertambah lebih cepat. Belatung-belatung tersebut sebagian
keluar dari TPS. Mereka berbaris, menuju tempat yang lebih luas.
Sepedaku tak luput dari serangan belatung. Belatung-belatung
itu sebagian menempel di sepedaku, lalu bersembunyi di antara tumpulan botol
plastik, gelas plastik dan kertas/kardus. Tiba-tiba perutku mual, rasanya mau
muntah. Belum lagi, kepala serasa kesemutan.
Kuambil kardus, kukibaskan pada sepeda. Aku berharap
belatung itu jatuh dan tidak menempel di sepeda dan bronjong (keranjang). Aku
berteriak girang. Berhasil. Buru-buru aku meninggalkan TPS. Aku naik di atas
sepeda. Kukayuh sepedaku dengan sekuat tenaga.
Aku menoleh ke belakang. Ternyata belatung-belatung
itu mengikutiku.
“Pak Tua. Pak Tua…”suara seorang ibu. Aku tak
menghiraukannya.
Aku ingin selamat dari kejaran belatung. Sampai di
rumah, di gubug reyot, aku berhenti. Dari jauh, kulihat belatung-belatung itu
berjalan bukan lagi ke arahku. Belatung-belatung itu berjalan ke arah
rumah-rumah tetanggaku yang kaya.
Aku sedikit bernafas lega. Kusandarkan sepedaku pada
sebatang pohon. Aku masuk rumah. Pemandangan di TPS berpindah di rumahku. Dalam
rumah, di kamar, di ruang tamu, di dapur dan di kamar mandi, semua diserbu
belatung.
Ingin rasanya aku menjerit. Ini mimpi atau nyatakah?
Anak dan isteriku tidak ada di rumah. Kebetulan mereka bertiga berada di rumah
mertua.
Kulihat di dalam kamar, ada sepotong daging yang
sudah busuk di dalam wadah plastik yang terbuka. Dari sepotong daging tersebut
keluar belatung. Di ruang tamu, di dapur dan kamar mandi juga sama kondisinya.
Belatung-belatung itu keluar dari sepotong daging yang busuk, yang berada dalam
wadah plastik terbuka.
00000
Isteriku memijit-mijit badanku. Apa yang telah
terjadi, aku tak tahu. Ternyata beberapa saat yang lalu aku tak sadarkan diri.
Isteriku pulang di saat yang tepat. Aku berada di ruang tamu yang bersih.
“Bapak capek ya? Kelelahan lalu tidur di bawah
pohon.”
Aku mengingat-ingat kejadian tadi.
“Sul, kamu sudah membersihkan ruangan-ruangan itu
bukan?”
“Memang ada apa, Pak? Kok dibersihkan segala. Rumah kita
ya seperti ini adanya.”
“Maksudku kamu sudah membersihkan belatung-belatung
itu, bukan?”
“Belatung apaan to Pak.”
Aku diam, tak melanjutkan pembicaraan. Sudahlah,
lupakan masalah belatung tadi. Dua anakku bermain di rumah tetangga. Isteriku
masuk kamar. Kudengar isteriku menjerit histeris.
“Belatung…….!”
Aku bangkit dan beranjak menuju kamar. Benar kata
isteriku, belatung-belatung itu memenuhi kamar tidur. Belatung, itu muncul dari
daging atau apa saja yang busuk. Mungkinkah belatung itu keluar dari daging
yang sudah aku goreng sampai kering (abon)? Padahal daging itu sudah diawetkan.
Atau mungkin belatung itu keluar dari daging yang
tidak baik, asal muasalnya tidak baik, misalnya mencuri? Ya, waktu mencari
barang rongsokan di masjid, aku sempat mengambil daging yang bukan hakku.
Jumlahnya lumayan banyak, dan tidak ketahuan orang. Tapi aku lupa, bahwa Tuhan
Maha Tahu dan Maha Melihat. (SELESAI)
Karanganyar, 10
Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar