Gambar 1. Me, mom, nok Faiq
Sumber: dok.pri
Tahun 1997, saya mulai
mengajar di MA Ali Maksum, Krapyak Kulon, Yogyakarta. Dengan jam mengajar yang
tak begitu banyak praktis honor yang saya peroleh tidak banyak. Akan tetapi
dengan honor yang sedikit tersebut, Alhamdulillah, keberkahannya dapat
dinikmati. Saya hanya mengajar 8 jam per minggu ditambah piket satu hari. Total
honor yang saya dapatkan adalah Rp. 42.000,00.
Jarak antara tempat mengajar
dengan rumah tidak terlalu jauh. Dengan berjalan kaki saja tidak akan
kelelahan. Saya sering diantar Bapak bila berangkat mengajar. Bapak juga
menjemput saya di dekat sekolah. Saya sering menolak bila Bapak menjemput. Kasihan Bapak, ada pekerjaan yang dilakukan di
rumah. Dengan santai saya selalu jalan kaki.
Saya masih ingat ketika menerima honor pertama, hanya satu yang saya
cari yaitu pedagang mie ayam. Saya ingin memberikan yang terbaik dari honor
saya untuk Ibu. Karena sebelumnya saya bertanya pada beliau,
”Bu, besok saya terima honor. Ibu pingin
dibelikan apa?”
“Belikan mie ayam.”
Hanya mie ayam! Tidak lebih!
Mie ayam yang harganya lima ratus rupiah! Tapi di balik mie ayam seharga lima
ratus rupiah itu tersimpan hikmah. Beberapa saat kemudian saya mendapatkan job memberi
les kimia di beberapa tempat. Saya tak perlu mencari murid, mereka datang dari
tempat les. Bagi saya ini adalah anugerah luar biasa.
Terima kasih MA Ali Maksum,
rezeki yang saya dapatkan dari sini benar-benar barokah. Tidak hanya di sini,
saya yang baru beberapa bulan mengajar (belum ada satu tahun) sudah dipercaya
untuk menulis ijazah (80 lembar). Ibu dan Bapak senantiasa memberi dukungan
pada saya. Ketika menulis ijazah ini Ibu dan Bapak bergantian menemani malam
saya dengan melakukan sesuatu. Atau pagi-pagi saya dibangunkan agar tak
melewatkan kesempatan sholat subuh di masjid. Terima kasih Ibu dan Bapak.
Dari menulis ijazah ini saya
mendapatkan honor yang lumayan besar. Tak lupa saya menawarkan pada Ibu dan
Bapak. Tapi mereka bilang honornya ditabung saja. Bagaimana tidak terharu, Ibu
dan Bapak tidak mau mengganggu keuangan saya.
Benar juga kata orang tua,
harta milik orang tua adalah untuk anak-anaknya tapi harta milik anaknya bukan
untuk orang tuanya. Tapi sebagai muslim saya memiliki pemahaman yang berbeda. Harta
anak-anak adalah sepenuhnya untuk orang tuanya (kalau pada akhirnya orang tua hanya
mendapatkan sepersekian persen, itu lain lagi ceritanya).
Keberkahan rezeki tidak
dilihat dari sedikit atau banyaknya harta yang kita miliki. Asal kita bisa
mendistribusikan tepat sasaran, Insya Allah keberkahan itu akan kita rasakan. Jangan
pernah mengatakan kewajiban orang tua memenuhi kebutuhan anaknya, tapi anak
tidak punya kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua.
Sekarang saya mendapatkan
hikmah yang luar biasa dari sekedar membelikan semangkuk mie ayam. Setelah menikah,
tak hanya semangkuk mie ayam buat Ibu ditambah dengan segelas dawet atau cincau
Dongkelan buat Ibu. (Bersambung)
Karanganyar, 31 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar