Gambar 1. Di Parangtritis KIRSTA
dok.Eri Ratmanto
Bicara masa remaja penuh
bunga-bunga tak lain adalah masa SMA. Menceritakan masa SMA berarti saya harus
mengingat-ingat beberapa peristiwa penting (untungnya saya dulu sudah suka
menulis hal-hal penting), yaitu kenangan 28 tahun yang silam. Ahai,
saya masuk SMA tahun 1987 dan lulus tahun 1990. Tapi saya tetap merasa masih
muda, karena murid-murid saya juga bilang usia saya sekitar 30-an tahun. Hehe,
masih imut ya.
Kelas 1, murid baru siap
beradaptasi dengan lingkungan baru
Sudah umum kalau murid baru
dikerjain kakak kelas. Dulu, tahun 1987 yang namanya plonconan sudah ada. Cuma kalau
di sekolah saya dibatasi, tidak boleh ada kekerasan fisik. Itu karena di
sekolah saya sepertinya yang diandalkan kemampuan berfikirnya.
Gambar 2. Anggota baru KIRSTA
dok.Eri Ratmanto.
Kegiatan baris-berbaris
sepulang sekolah sampai hampir maghrib dilaksanakan selama hampir seminggu. Dibentak-bentak,
ditegasi, diajak disiplin, membuat kami menjadi pribadi yang siap menerima
segala macam tantangan dan rintangan. Hikmahnya kami bisa mandiri.
Setelah hampir satu bulan
kami menyesuaikan diri dari seragam putih biru ke putih abu-abu, kami harus
memilih ekstrakurikuler (ekskul). Saya memilih ekskul Kelompok Ilmiah Remaja
atau KIR. Di SMA saya ekskul ini memiliki nama KIRSTA. Ketua KIRSTA adalah Mas
Julius Eri Ratmanto. Dia hobinya memotret. (Dokumentasinya banyak banget)
Gambar 3. Pelantikan anggota KIRSTA
dok.Eri Ratmanto
Anggota baru KIR mengikuti
banyak kegiatan. Setiap hari Jumat sore sampai maghrib kami berada di sekolah
diberi tugas-tugas ringan tentang penulisan. Setelah beberapa minggu mengikuti
kegiatan awal, kami pun dilantik resmi menjadi anggota KIRSTA. Hore… berhasil-berhasil.
Di KIR ternyata kegiatannya
ada yang di dalam dan di luar sekolah. Kegiatan ke luar sekolah pertama yang
kami ikuti adalah melihat lebih dekat proses pembuatan gerabah di Kasongan
(Sentra industry gerabah). Kami hanya bersepeda saja ke Kasongan, sebab jarak antara
sekolah dan Kasongan tidak terlalu jauh. Hanya beda kecamatan saja. Asyik banget
bersepeda di pedesaan. Kiri dan kanan jalan yang terlihat hanya sawah. Udaranya
sejuk.
Gambar 4. Kegiatan ke Kasongan
dok.Eri Ratmanto
Kegiatan ke luar berikutnya
adalah ke Parangtritis. Sama seperti waktu di Kasongan, pas di Parangtritis
kami juga dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok jurusan Fisika, Biologi
dan IPS. Ternyata seru sekali mengikuti ekskul KIR. Bayangan saya awalnya KIR
itu serius, ternyata tidak. Di sini santai, banyak guyon, banyak diskusi tapi
tidak berlebihan guyonnya.
Gambar 5. KIRSTA di alam
dok.Eri Ratmanto
Kelas 2, kehilangan teman
akrab. Hiks-hiks, semoga khusnul khotimah
Kebetulan saya tidak masuk
dalam kepengurusan OSIS jadi saya tidak ikut mlonco adik-adik kelas. Tapi gak
papa, saya memang tidak tipenya orang aji mumpung. Bagi saya tak masalah. Biarlah
teman-teman saya yang lain yang kebagian ngerjain adik kelas.
Gambar 6. Pulang dari Paris
dok.Eri Ratmanto
Saya masih bertahan dan tak berpindah
ke lain ekskul. Saya tetap masuk KIRSTA. Di KIRSTA saya menjadi pengurus juga, Cuma
saya itu orangnya enggak tegaan. Kalau ngerjain sampai habis-habisan rasanya
kok gak manusiawi gitu. Jadilah di kepengurusan angkatan kami, KIRSTA tidak
memberikan gemblengan yang membuat anggota barunya keder. Lebih focus ke
tulisan saja.
Tapi sewaktu pelantikan
anggota baru atau acara formal, anggota baru KIRSTA digiring (ah, enggak juga
digiring. Mereka jalan sendiri) dari sekolah menuju jembatan Prapanca. Di bawah
jembatan itulah diadakan pelantikan anggota baru.
Gambar 7. Di bawah jembatan Prapanca
dok.Eri Ratmanto
Anggota lama adalah siswa
kelas 2 dan 3. Kemudian kelas 3 tidak aktif lagi mengikuti ekskul. Mereka focus
mendalami materi untuk persiapan EBTANAS dan UMPTN. Ada beberapa siswa kelas 3
yang masih aktif. Mereka adalah pengurus lama.
Anggota KIRSTA yang juga
teman sekelas saya (kelas 2 A1/jurusan Fisika) di antaranya adalah Gianto. Di kelas
kami, Gianto adalah ketua kelas. Gianto termasuk aktif di kelas, di KIRSTA
maupun OSIS. Dia memiliki cirri-ciri rambutnya keriting, kulitnya hitam,
badannya tak terlalu tinggi, senyumnya manis. Gianto anak desa yang rajin, ke
sekolah naik sepeda kebo alias sepeda onthel (dulu memang jamak memakai sepeda
onthel).
Pada hari Jumat seperti
biasa, sore hari jadwal ekskul KIR. Pulang sekolah sebelum jumatan Gianto minta
izin pada saya,”Bil, aku nanti tidak ikut KIR lagi masuk angin.” (Bil, itu
panggilan saya. Teman-teman memanggil saya dengan sebutan Ima Libil). Saya menjawab,”Nggak
papa, cepat sembuh ya.”
Pagi harinya, ketika saya
sampai sekolah mendapat kabar bahwa Gianto meninggal dunia. Innalillahi wa
innailaihirojiun. Ada apa dengan Gianto? Bukankah kemarin minta izin pada saya
tidak mengikuti KIR hanya karena masuk angin biasa? Ternyata bukan karena masuk
angin! Gianto mengalami musibah. Dia tertabrak bis ketika mau pulang ke rumah
membawa gerobak berisi gabah.
Ceritanya meskipun dalam
keadaan sakit, Gianto tetap membantu orang tuanya menjemur gabah. Hari telah
sore, Gianto membawa pulang gabah-gabah itu. Gabah-bagah itu diangkut dengan
gerobak. Sayang, ada bis yang melintas dan Gianto beserta gerobaknya
tersenggol.
Sempat dibawa ke rumah sakit
tapi jiwanya tak tertolong. Kami, teman-temannya sangat kehilangan. Khusus kelas
kami pelajaran ditiadakan karena kami diizinkan melayat (memberi penghormatan
terakhir) di rumah almarhum Gianto.
Gambar 8. Gianto depan kiri
dok.Eri Ratmanto
Suasana duka menyelimuti
rumah keluarga almarhum. Di kota, keranda yang akan membawa jenazah diberi
roncean bunga melati, mawar dan kenanga. Tapi di desa sangat berbeda. Hanya bunga
yang ada di sekitar kampung yang menghiasi keranda. Yang saya ingat adalah bunga
sepatu.
Saya merasa kehilangan
seorang sahabat yang supel, rajin dan ulet. Selamat jalan sahabat, semoga
khusnul khotimah. Hiks-hiks (mewek saya waktu itu). Nggak nyangka umurnya
pendek, malaikat maut sudah melaksanakan tugasnya terhadap Gianto.
Kelas 3, anak-anak gak jelas kabeh
Dor, dor, tiba-tiba ada ledakan
Gambar 9. Kelas 3 Fisika
dok. Rosa Listyandari
Di kelas 2 dan 3, kelas kami
tidak dekat dengan kelas yang lain alias pojok. Kami jarang berkomunikasi
dengan siswa kelas lain. Kalau istirahat bertemu dengan siswa kelas lain saat
baca Koran dinding alias kording atau pinjam buku di perpustakaan.
Karena jurusan kami adalah
fisika maka pelajaran IPA yang kita pelajari jam pelajarannya banyak. Perasaan saya
kok pelajarannya IPA melulu. Hehe plek-plek-plek (tepuk pipi sendiri), ini
jurusan IPA non!
Paling suka kalau pelajaran
pas praktek, seperti praktek kimia (hehe, akhirnya sekarang saya mengajar kimia
juga). Pada suatu hari (halah, dongeng banget ini), kami melakukan praktek
kimia. Materinya adalah logam-logam dan reaksinya. Ini yang kami sukai karena
kami suka usil.
Topiknya adalah sifat logam
natrium (Na). Setelah membaca teorinya lalu praktek. Ambil gelas kimia lalu
tuangkan air sepertiganya. Berilah beberapa tetes indicator pp. Di atas air
berilah kertas saring. Lalu ambil logam natrium dengan penjepit khusus. Pelan-pelan,
taruh logam natrium di atas kertas saring. Tidak usah menunggu lama, langsung
terdengar ledakan dorrr cukup keras. Semua kaget. Biarpun sudah baca teorinya
ternyata kaget juga(dikerjain guru kimianya). Dan lihat airnya berubah warna
menjadi pink (larutan yang terjadi bersifat basa). Oke, pelajaran usai akhirnya
pulang. Dari lab sampai kelas Cuma cengengesan saja.
Pulang sekolah, kami pulang
ramai-ramai, jalan kaki lewat jembatan Julantoro (sebelah selatan jembatan
Prapanca). Saat berada di atas jembatan, Budi, teman saya menyuruh berhenti. “Kosek,
mandheg sik.” Tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari tas lalu dilempar ke
sungai. Dorrr. Oalah, ternyata buka ambil logam natrium. Cengengesan lagi.
Ini nangkaku, mana nangkamu?
Teman-teman saya yang
mayoritas laki-laki memang pada keterlaluan usilnya. Yang benar-benar berkesan
waktu pesta makan buah nangka.
Pak Bon (Tukang kebun),
marah-marah. Dia merasa mencium aroma buah nangka dari kelas kami. Kebetulan kelas
kami dekat dengan dapur sekolah. Pak Bon kan bikin minumannya di dapur, jadi
akhirnya mencium bau nangka. Di sebelah kelas saya adalah kamar mandi. Dekat kamar
mandi ada pohon nangka yang buahnya lumayan banyak.
Namanya juga anak suka iseng
dan usil, salah satu buah nangka yang sudah tua dipetik teman saya. Rupanya Pak
Bon merasa kehilangan buah nangka (mungkin buah nangkanya sudah dikasih nomor
antri petik ya?). Beberapa hari menahan rasa, akhirnya Pak Bon melaporkan
perbuatan kami (saya jadi ikutan kena) ke kepala sekolah.
Intinya, kami tetap bersalah
telah mengambil buah nangka yang bukan milik kami (padahal milik sekolah, milik
kami juga ya? #pembelaan). Kami harus minta maaf dan berjanji tak mengulang
lagi. Dan buah nangka oleh Pak Bon diikhlaskan buat kami. Asyik… akhirnya makan
nangka gratis. Horeee.
Sebenarnya ceritanya banyak
ya. Cuma kalau nulisnya terlalu banyak, saya gak bisa menyiapkan materi
mengajar kimia untuk esok hari.
Tulisan ini diikutsertakan
dalam Giveaway Nostalgia Putih-Abu yang diselenggarakan mbak Arina Mabruroh di blog arinamabruroh.com
Karanganyar, 18
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar