Hari ini saya menayangkan tulisan yang dimuat di SOLOPOS, Surakarta
Gambar 1. Cernak 1 Yang dimuat di SOLOPOS th 2016
Sumber : dok.pri
CERITA ANAK
TEROMPET TAHUN BARU
Oleh : Noer Ima Kaltsum
Hanif menutupi terompet
dagangannya dengan plastik ukuran besar. Langit abu-abu, mendung. Sebentar lagi
hujan turun. Hari ini terompet-terompet Hanif belum terjual satu pun. Dengan
sabar Hanif menunggu pembeli. Hanif memindahkan dagangannya di trotoar depan
toko sepatu. Dia minta izin karyawan toko sepatu.
“Mbak, sebentar lagi hujan
akan turun. Bolehkah saya menumpang berteduh?”Tanya Hanif.
“Boleh Dik. Tidak mengganggu
kok.”
“Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama. Oh, ya apakah
terompetnya sudah ada yang laku?”
“Belum Mbak. Saingannya
banyak.”
“Yang sabar ya Dik.
Moga-moga terompetnya ada yang memborong.”
“Amin.”
Tiba-tiba hujan turun. Para
pedagang yang berjualan di Taman Pancasila menyelamatkan dagangannya. Mereka
berusaha menyimpan dagangannya agar tidak basah. Hujan turun cukup lama.
Hanif putus asa. Hari ini
dia pulang tak membawa uang hasil penjualan. Sampai di rumah, Hanif tak
mendapati Bapak dan Ibu. Ke manakah mereka? Tiba-tiba datanglah Mbak Aan,
tetangganya.
“Dik Hanif, Bapak dan Ibu
tadi pergi ke tetangga yang rumahnya di kampung sebelah. Bapak dan Ibu diminta
untuk membantu membuat cilok.”
“Terima kasih, Mbak Aan
sudah memberi tahu.”
“Terompetnya ada yang laku
atau tidak?”
“Hari ini tidak ada yang
laku.”
“Sabar ya, Dik. “
“Iya, Mbak.”
Malam hari Bapak dan Ibu
sudah pulang. Hanif membuatkan teh hangat untuk kedua orang tuanya. Bapak dan
Ibu tersenyum.
“Pak, malam tahun baru
tinggal besok. Terompet-terompet kita masih banyak. Kalau tak laku berarti
terompet tersebut harus kita jual murah. Sama seperti tahun lalu.”
“Hanif tak usah bersedih.
Tuhan sudah mengatur rezeki kita. Kalau terompet-terompet tersebut tak laku
tidak perlu khawatir. Tuhan memberi rezeki yang lain.
Hari ini Bapak dan Ibu diminta
untuk membuat cilok oleh tetangga. Rencananya cilok-cilok tersebut akan
disantap besok malam tahun baru. Selain cilok, besok Bapak dan Ibu diminta
untuk membuat siomay dan batagor. Kami mendapat upah lumayan, Hanif.”
Wajah Hanif berubah menjadi
lebih ceria.
“Terima kasih Tuhan.”
00000
Sore ini Bapak dan Ibu repot
membantu menyiapkan makanan untuk disantap malam hari nanti. Tentu saja Bapak
dan Ibu tidak bisa berjualan terompet. Hujan turun dengan derasnya. Hanif
tertahan di rumah. Hanif tidak memaksakan diri berjualan di taman.
Hanif memandangi
terompet-terompet yang tertata rapi di bambu. Hujan belum juga reda. Malam
semakin larut. Bapak dan Ibu pulang. Hanif dan Ika, adiknya berangkat tidur.
Hanif tetap saja risau.
Dari jauh terdengar suara
mercon dan kembang api. Meskipun hujan turun, suasana kota tetap ramai.
Lama-kelamaan Hanif dan Ika tertidur.
Pagi harinya, Hanif
menyimpan terompet-terompetnya dalam plastik besar. Tiba-tiba terdengar ketukan
pintu. Ibu membuka pintu. Ternyata Mbak Aan yang datang.
“Ibu, saya mengundang Hanif
untuk datang ke rumah saya nanti sore.”
“Ada apa, Mbak Aan?”
“Keponakanku ulang tahun.
Kamu datang, ya?”
“Tentu saja, dengan senang
hati.”
Sore harinya, anak-anak
kecil sudah berkumpul di rumah Mbak Aan. Mereka siap bernyanyi dan bersuka ria.
Mereka akan makan-makan sepuasnya.
Anak-anak matanya tertuju ke
luar rumah. Mereka langsung bersorak, hore! Mbak Aan bingung, ada apa ya? Mbak
Aan lalu tersenyum. Mbak Aan menyambut kedatangan Hanif. Kedatangan Hanif sore
ini teramat istimewa. Hanif membawa terompet dalam jumlah banyak.
“Aku mau… aku mau...,”teriak
anak-anak.
“Ayo semua duduk yang rapi.
Nanti semua kebagian. Tapi harus menyanyi dulu.”
“Siap….”
Hanif membawa
terompet-terompet tersebut atas perintah Bapak. Sebenarnya terompet-terompet
itu mau diberikan kepada Mbak Aan secara gratis. Tapi terompet-terompet itu
akhirnya dibeli Mbak Aan.
“Hanif, terompet-terompet
itu adalah daganganmu lo. Jadi, Mbak Aan borong ya.”
“Sebenarnya, ini mau
dikasihkan buat ulang tahun keponakan Mbak Aan. Tapi, ya sudahlah. Terima kasih
Mbak Aan mau memborongnya.”
Setelah makan-makan dan
bernyanyi, anak-anak pulang. Masing-masing membawa kardus berisi nasi kuning
dan makanan kecil, serta terompet. Keluar dari rumah Mbak Aan, anak-anak
meniupnya dengan keras, bersahut-sahutan. Hanif dan Ika pulang dengan suka
cita. (SELESAI)
Sumber tulisan : Koran Solopos, Rubrik Anak, Judul Cernak: Trompet Tahun Baru, Minggu, 3 Januari 2016
Kata terompet diedit menjadi trompet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar