Gambar 1. Meja dan kursi
sumber: dok.pri
Hari Kamis, 7 Januari 2016
kesabaran saya diuji. Faiz, anak saya kedua pulang dari penitipan anak ikut
saya menghadiri pertemuan PKK di RT. Namanya juga ibu-ibu, wajib ikut PKK
meskipun tidak wajib datang setiap pertemuan sebulan sekali.
Setelah selesai PKK, Faiz
mulai rewel. Yang ditanyakan adalah ayah. Selalu saja begitu, Faiz dekat dengan
ayah. Bila tak ketemu ayah terus rewel, permintaannya macam-macam. Saya tidak
mungkin mengajak Faiz ke tempat ayahnya tenis, takut ada apa-apa. Maklum, tangannya
belum sembuh betul. Pen yang masih tertanam di tulang, membuat saya merasa
eman-eman.
Kalimat berikutnya yang
selalu saya duga pasti keluar adalah,”telpon ayah. Ikut ayah.” Saya tidak
menjawab. Semoga usaha saya berhasil. Dengan naik sepeda motor, saya ajak Faiz
keliling kampung, lalu lewat jalan raya. Saya kenalkan nama-nama kampung/tempat
yang kami lewati. Tempat-tempat tersebut biasa kami lewati. Saya mendengarkan
ceritanya. Tak lupa untuk meyakinkan dia kalau saya perhatian banget dengan
ceritanya, kadang saya tertawa dan menimpali ceritanya. Rupanya Faiz melupakan “telpon
ayah” lagu wajibnya.
Satu kampung terakhir saya
lewati, motor saya pelankan jalannya. Sampailah pada suatu jembatan. Sebelum menyeberang,
saya melihat seorang penjual kursi dan meja. Penjual tersebut duduk di dekat
jembatan. Saya berhenti lalu melihat-lihat barang dagangannya.
“Kursi atau meja, Mbak?”Tanya
penjual meja-kursi.
“Kursinya berapa, Pak?”Tanya
saya basa-basi.
“Seratus lima puluh ribu,
Mbak.”
“Pitu-lima (tujuh puluh
lima),”saya mulai menawar.
“Masih jauh, Mbak.”
“Sangang puluh. Nek entuk
taktuku, nek ora ya rasida tuku,”
(Sembilan puluh. Kalau boleh
saya ambil, kalau gak boleh ya gak jadi beli)
“Walah, Mbak. Uang seratus
saja kurang sepuluh. Seratus, Mbak.”
“Saya nggak maksa kok Pak. Itu
sudah pol, beberapa waktu yang lalu saya beli juga Sembilan puluh.”
“Mbak, dari tadi sudah ada 3
orang nawar 90 ribu tidak saya berikan. Ya, sudahlah sepertinya rezekiku cuma 90
ribu. Rumahnya mana, Mbak?”
“Nyeberang sini, Pak. Ada perumahan.”
Saya meninggalkan penjual
meja kursi. Di belakang saya, penjual tersebut membuntuti. Akhirnya sampai di
depan rumah. Penjual tersebut menurunkan dagangannya. Saya memilih. Sambil ngobrol-ngobrol.
Ternyata penjual meja-kursi
tersebut orang Boyolali, sama seperti penjual kursi beberapa bulan yang lalu. Katanya,
saya dibilang nawarnya bisa minim. Itu rezeki saya. Padahal 3 orang yang nawar
sebelumnya tidak bisa membawa pulang kursi panjang. Dia juga cerita beberapa
waktu yang lalu dagangannya diborong orang dengan harga tinggi. Tapi dia tetap
bersyukur, dagangannya akhirnya ada yang membeli.
Sejak awal sudah disepakati
harganya 90 ribu, saya juga tidak memberi lebih. Penjual kursi mengatakan dia
akan akan menjajakan meja-kursi sampai malam, baru pulang ke Boyolali. Baginya mencari
rezeki harus sabar. Saat itu menjelang maghrib. Setelah menurunkan dan menata
kembali meja-kursi, penjual tadi pamit.
Semoga mendapat rezeki yang
barokah, Pak. Perlu diketahui bahwasanya saya tidak membutuhkan kursi panjang. Di
rumah sudah ada 2 kursi panjang untuk santai-santai. Sebenarnya tadi saya hanya
iseng-iseng menawar. Kalau disepakati Alhamdulillah, kalau tidak ya tak
masalah. E, ternyata boleh. Ya sudah, akhirnya saya bayar juga, murah lagi. Toh
suatu saat saya juga membutuhkan.
Namanya juga barang murah,
tentu kualitasnya di bawah standar. Akan tetapi saya juga memiliki kursi
panjang yang sama kualitasnya, sudah 13 tahun menemani saya di rumah tengah
sawah. Sampai sekarang juga masih bisa dimanfaatkan.
Karanganyar, 10
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar