Ketika Nok Fai masih TK, dia
termasuk anak yang mengalah dan tak mau membalas kenakalan teman-temannya. Saya
tak menyalahkan guru TK yang tak mampu mengatasi kenakalan siswanya yang
banyak. Tapi saya berpesan, seandainya anak yang usil tetap mendekati anak-anak
yang cenderung pendiam, mohon Fai dijauhkan dari teman yang usil tadi.
Setelah beberapa kali
mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, saya mulai berpesan pada Fai (waktu
itu sudah masuk klub Tae Kwon Do),”Fai, keluarkan kekuatanmu, balaslah mereka
yang usil sama sesuai keusilannya. Jangan diam saja. Fai tidak lemah. Mereka akan
terus mengganggu Fai kalau Fai diam saja.”
Suatu ketika ada teman yang
bilang Fai nakal. Ah, saya tidak percaya. Fai, anak perempuan, badannya kecil,
selama ini Fai diusili temannya. Saya berpikir, Fai hanya membalas saja. Ketika
di rumah Fai bercerita tentang hal-hal yang membuatnya nyaman. Membalas
perbuatan teman laki-laki yang usil.
Akan tetapi saya tidak
mengajarkan padanya untuk dendam. Ada kejadian yang membuat dada saya berdegup
kencang. Waktu saya menjemput Fai di TK, gurunya bilang,”Bu, maafkan kami. Fai
tadi didorong temannya, Faiz (Faiz ini temannya lo, bukan nama adiknya). Fai jatuh,
dagunya ada luka dalam. Kami sudah mengobatinya. Nanti kalau keluarga membawa
ke rumah sakit, biayanya biarlah ditanggung sekolah.”
“Semoga tidak terjadi
apa-apa,”kata saya.
Faiz, temannya yang ini
usilnya minta ampun. Tapi saya masih menganggap ah itu kenakalan anak-anak
saja. Hanya saya sayangkan ketika sama-sama menjemput, ibunya Faiz tidak
mengucapkan apapun. Sikapnya biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa.
Kalau sudah seperti itu
apakah saya harus meminta Fai untuk membalas mendorong hingga dagunya Faiz
bonyok? Tentu saja jawabnya tidak. Memaafkan saja, itu sudah cukup. Akan tetapi
saudara saya berpendapat lain. Kata mereka kalau temannya nakal, ajari Fai
membalas. Beda mereka, beda saya.
Memaafkan itu tidak
membutuhkan energy banyak. Sedangkan dendam memerlukan energy besar. Memaafkan tak
memerlukan syarat. Sedangkan dendam syaratnya berat. Setiap bertemu dengan
orang yang kita dendam padanya, hati ini, muka ini, mulut ini akan merasa
sakit. Raut wajah kita tak bersinar, cemberut dan lain-lain. Rugi besar,
menurut saya.
Suatu hari seorang teman
mengatakan pada saya,”Bu Ima, panjenengan ini kok gampang sekali memaafkan
orang lain. Lalu berusaha untuk mendahului menyapa orang lain yang mendiamkan
panjenengan (bahasa Jawanya nyanak-nyanak). Sepertinya panjenengan tidak
terbebani melakukan semua ini. Ringan saja.”
“Hidup di dunia sekali saja.
Maafkan mereka dan berbuat baik. Perkara mereka tetap dendam dengan saya itu
bukan urusan saya. Saya tidak tahu kapan saya pulang kampung (meninggal), kalau
bisa sebelum kembali saya telah menyelesaikan urusan dunia saya.”
Itu prinsip saya. Terserah pendapat
orang lain. Kita punya jalan hidup masing-masing. Saya juga tak memaksa orang
lain sama dengan saya.
00000
Suatu saat seorang teman ada
yang bilang pada saya. Beliau takut bila tiba-tiba meninggal padahal masih ada
dendam pada orang lain. Sebenarnya beliau ingin menghilangkan dendam. Tapi rasa
gengsi itu menyebabkan beliau tak mau memulai untuk menyapa lebih dahulu. Akibatnya,
bila bertemu mukanya sudah masam tak karuan. Mau tersenyum saja rasanya berat
karena kelihatan sekali kalau senyumnya hanya dibuat-buat.
“Tidak ada salahnya memulai
menyapa. Toh menyapa tak mengeluarkan biaya. Tersenyum energy yang kita
keluarkan hanya sedikit.”
“Tapi hati saya kok berat.”
“Itu godaan syetan.” (Lah,
kok saya jadi melibatkan syetan dan menyalahkan syetan ya hehe)
Saya tak memaksa, ya
terserah beliau saja. Toh semua menjadi tanggungannya. Di dunia saja beliau
menanggung beratnya bila bertemu.
Saya tak menyangka sama
sekali dengan apa yang diceritakan teman saya baru-baru ini. Karena dendamnya
pada orang, beliau sampai meminta kepada Allah untuk mengabulkan permintaannya.
Yaitu membalas perbuatan mereka yang telah mendholiminya, dengan cara memberi peringatan
keras berupa musibah.
Sungguh, saya tak habis
mengerti mengapa bisa sampai seperti ini. Dan benar, orang yang didoakan kena
musibah berturut-turut anggota keluarganya mengalami musibah berat. Dengan ringan
beliau mengaku ada sedikit penyesalan tapi merasa bahwa Allah mengabulkan
doanya dan beliau berkata itu musibah yang dialami sudah setimpal dengan
perbuatannya.
Saya tidak mau membuat
masalah, tidak mau dianggap ceramah di siang bolong dan dibilang hari gini
masih ada orang yang mudah memaafkan.
Kalau saya yang mengalami
hal yang dialami teman saya, saya akan memaafkan perbuatan orang yang telah
menyakiti dan mendholimi saya. Minimal, kalau saya ketemu dengan orang yang
menyakiti saya, hati saya tidak bergedup kencang dan muka saya tidak masam.
Memaafkan orang memang tidaklah
gampang, tapi setidaknya hindarilah dendam kesumat.
Karanganyar, 5 Maret
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar