Bagi saya, Mas Paiman yang
sering menawarkan kaos kaki dan celana kolor (baik pendek maupun panjang) sudah
tidak asing lagi. Cara menawarkan dengan santai dan kekeluargaan inilah yang
membuat guru-guru membeli barang dagangannya. Yang paling saya suka, Mas Paiman
tidak mudah tersinggung. Semua ditanggapi dengan senyuman.
Namanya juga pedagang, jadi
ya tidak gampang marah. Dengan demikian, kalau Mas Paiman datang menawarkan
dagangan selalu saja ada yang membeli. Paling dia datangnya sebulan sekali. Ada
yang membeli kaos kaki, kaos tangan, ikat pinggang, celana kolor, kaos atau
kemeja. Tergantung harga penawarannya cocok tidak? Ada bonus untuk pelanggan
kalau jadi membeli dagangannya, yaitu plastik
kresek.
Dahulu, kaos kaki tidak
terlalu tebal diberi harga sepuluh ribu rupiah per 3 pasang. Sekarang harganya
naik menjadi sepuluh ribu rupiah per 2 pasang. Karena harganya sudah umum, beli
di keramaian Taman Pancasila malam hari juga sama, saya langsung membeli. Buat persediaan,
bisa digunakan bergantian.
Sebulan yang lalu, saya
iseng-iseng menanyakan harga celana panjang yang bisa dipakai untuk harian. Mas
Paiman memberikan harga seratus ribu dapat 3 potong. Saya membantin,
menjahitkan celana saja ongkosnya tiga puluh ribu rupiah. Saya menawar, kalau
boleh tiga puluh ribu saya beli satu. Namanya juga pedagang, ngotot 100. 000
dapat 3 potong. Saya sih tidak butuh-butuh amat. Kalau itu bisa deal kan
lumayan, celana di rumah yang sudah cacat bisa dibungkus plastik lalu
dimusiumkan.
Tidak usah pakai alot,
langsung diberikan begitu saja. Lumayan, bisa untuk gonta-ganti. Kemarin siang
Mas Paiman datang lagi. Biasa, menawarkan dagangannya.
“Kaos kaki, bu.”
“Celana yang seperti ini
warnanya coklat ada atau tidak?”tanya saya.
“Nggak bawa bu. Kalau yang
ijo ini atau biru juga bagus lo bu.”
“Mas, arep takpakai untuk
pramuka, mosok ijo. Terus kalau biru jodone bajuku pake apa? Kalau ada yang
coklat.”
Rupanya dia tidak membawa. Teman
saya membeli celana panjang warna biru, deal. 30.000, langsung bungkus tas
kresek.
“Kalau celana pendeknya
berapa?”
“Dua potong lima puluh ribu,
Bu.”
“Tiga puluh ribu.”
“Isih adoh Bu.”
“Maksudnya untungnya belum
banyak ta?”saya ngeyel.
“Empat puluh, Bu.”
“Kalau boleh tiga lima. Kalau
nggak boleh ya sudah.”
“Empat puluh Bu, taktambahi
kaos kaki.”
“La aku ndak butuh kaos kaki
je Mas.”
“Dereng angsal Bu.”
Saya tidak memaksa, kalau
tidak deal ya sudah. Toh saya belum butuh-butuh amat. Ini masih mending, teman
saya malah nawarnya sepuluh ribu.
Rezeki datangnya dari mana
saja. Kalau kita membeli sesuatu pada pedagang yang sungguh-sungguh, semoga barang
yang kita beli bermanfaat. Pedagangnya mendapatkan keberkahan dari keuntungan
yang diambil.
Saya jadi ingat, dulu waktu
SMP sering membantu ibu berjualan di pasar. Kebetulan pelanggan ibu tidak ada
yang menawar dagangan ibu sampai titik penghabisan. Ketika saya kuliah, saya
membantu menjualkan dagangan kakak saya. Ada kosmetik Sara Lee, mukena, dan sprei.
Kebetulan pembeli juga tidak banyak bertanya. Untuk kosmetik, sudah ada buku
katalognya. Mukena dan sprei bisa diangsur 3 kali. Kakak saya juga tidak
mengambil untung banyak. Maklum, konsumennya adalah tetangga sendiri. Ketika saya
jualan telur asin buatan sendiri, konsumennya juga tidak menawar karena
harganya sama dengan di pasaran.
Saya ingin membeli
barang-barang yang ditawarkan pedagang keliling yang mampir di sekolah saya. Kalau
saya suka dengan produknya, dan melihat pedagang ramah menawarkan dagangannya,
saya akan membeli meski teman saya bilang mahal. Bagi saya kemahalan harganya
tidak masalah, paling kemahalan seribu dua ribu rupiah. Apalagi kalau barang
itu bisa digunakan selama satu tahun, wah jadi murah sekali.
Beberapa hari yang akan
datang, Mas Paiman akan datang ke sekolah, membawakan celana panjang coklat
pesanan saya. Terima kasih Mas Paiman, sudah melayani guru-guru dengan ramah
dan tiap candaan tidak dimasukkan ke hati.
Kaaranganyar, 25
Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar