Menjelang
bulan puasa tahun ini, saya jadi ingat peristiwa di awal bulan puasa tahun 2001.
Ibu mertua biasa memasak lebih sore dibandingkan hari-hari biasa. Alasannya
biar semua masakan masih hangat kalau disantap untuk berbuka puasa. Membuat
minuman juga mendadak.
Hal
semacam ini tidak cocok bagi saya. Seharusnya semua tidak perlu mendadak.
Justeru menyantap makanan yang sudah dingin akan lebih menyehatkan, terlebih
setelah seharian penuh perut kosong.
Sore
itu Ibu mertua bermaksud memasak air, memasak sayur dan menanak nasi. Berhubung
kompor yang dimiliki hanya 2 (kompor minyak, waktu itu belum memakai kompor
gas), maka 2 kompor dipakai masak secara bergantian.
Kompor
yang satu untuk masak air dalam teko cor, kompor yang lain untuk menggoreng
lauk, memasak sayur dan menanak nasi. Setelah nasi dimasukkan ke dalam dandang
(kukusan), Ibu mertua mulai tidak sabar. Kok air pada kompor satunya tidak
umep-umep (mendidih). Padahal sudah satu jam lebih.
Saya
ingin memasak mie instan yang akan saya suapkan untuk anak saya.
“Bu,
teko cornya di pindah ke kompor yang satunya saja. Saya mau masak mie.”
“Eit,
jangan. Kalau mau masak mie, pakai kompor sebelahnya saja.”
Selesai
memasak mie, saya menyuapi anak saya. Akan tetapi saya sempat melihat Ibu mertua
mengambil tutup teko yang mulai meleleh. Saya tidak berkomentar, takut nanti
salah. Sudah kemrungsung (tergesa-gesa plus panik), masih ribut lagi. Ya sudah
mengalah.
Ibu
mertua berusaha mengganti tempat, supaya air cepat masak. Sebentar lagi
waktunya berbuka puasa. Setelah diangkat ternyata teko cor sangat ringan alias
kosong. Saya, suami dan ipar-ipar kemudian tahu setelah Ibu mertua menggerutu.
“Badalah,
jebul tekonya kosong. Berarti tadi lupa tidak diisi air. Slamet, slamet, kompornya
tidak kehabisan minyak tanah. Kalau kehabisan minyak tanah bakalan meledak dan
kebakaran.”
Saya
langsung tanggap dan masak air sedikit
saja, sekedar cukup untuk membuat teh hangat untuk sekeluarga.
“Coba,
tadi kalau saya boleh masak mie pake kompor itu. Jadi ketahuan kalau tekonya
kosong.”
Ibu
mertua cuma plengah-plengeh (tersenyum). Batin saya, ini pelajaran yang sangat
berharga. Saya akui, Ibu mertua terlalu sibuk (tapi kalau dibantu-bantu kadang
menolak). Selain mengurus rumah tangga, Ibu mertua juga berjualan, dengan
membuka toko kelontong dan menyediakan peti mati (dan uba rampenya = perlengkapannya).
Ternyata
teko cor yang belum diisi air ditaruh di atas nyala api lalu ditinggal pergi
untuk meladeni pembeli (membeli peti mati). Setelah selesai meladeni pembeli,
lupa mengisi air. (Kebiasaan Ibu mertua memasak air dengan menaruh teko di atas
api, baru mengisi airnya. Berbeda dengan saya yang mengisi air dalam teko lalu
memanaskannya).
Kejadian
lupa memasak ini tidak hanya sekali. Yang sering adalah memanaskan sayur sampai
gosong atau mengukus nasi sampai gosong karena kehabisan air. (SELESAI)
Karanganyar, 25 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar