Nasi Bandeng Seribu Rupiah dok.pri |
Bukber, Gaya Hidup dan Pemborosan
Sekarang sedang ngetren acara
bukber. Dari anak-anak hingga orang dewasa, dari semua kalangan tidak asing
dengan bukber tersebut. Bukber atau berbuka puasa bersama ini memiliki nilai
positif, tetapi juga ada kekurangannya. Kebaikannya adalah sarana mempererat
tali ukhuwah, mempererat tali silaturahmi, berempati dan berbagi dengan sesama.
Sisi keurangannya juga ada misalnya ajang pamer, tidak bersegera (menunda-nunda)
shalat fardhu, berlebih-lebihan.
Sudah tiga kali saya
mengikuti acara bukber di sekolah (untuk Ramadan tahun ini setiap hari Kamis) diawali
berdoa bersama yang merupakan rangkaian dari pelaksanaan penerimaan peserta
didik baru. Saya tidak mempermasalahkan acara doa bersama ini. Ternyata teman-teman
saya juga sependapat dengan saya. Acara berdoa bersama dilanjutkan dengan
berbuka puasa bersama ini penggunaan/pengaturan waktunya tidak pas.
Setelah azan maghrib
berkumandang, kami berbuka puasa langsung dilanjutkan dengan evaluasi dan
pembahasan tentang penerimaan peserta didik baru. Ini yang keliru. Seharusnya kami
berbuka dengan minum secukupnya dan makan satu kudapan saja lalu shalat maghrib
berjamaah dahulu. Setelah shalat barulah mengadakan evaluasi. Teman-teman
banyak yang bersungut-sungut, kami inginnya bersegera sementara yang memiliki
hajat malah terkesan mengulur waktu dan bertele-tele.
Bukber di sekolah ini tidak
makan besar, hanya kudapan saja. Setelah bukber selesai, saya tidak ikut shalat
berjamaah di sekolah. Saya izin langsung pulang. Sebagai seorang perempuan, saya
sudah meninggalkan keluarga untuk acara ini, meninggalkan suami dan anak-anak
di rumah. Belum lagi jalur yang saya lewati dari sekolah sampai rumah sedikit
rawan. Bisa dibayangkan, seorang perempuan pada malam hari, naik sepeda motor
sendiri di jalan yang sepi. Rasanya ngeri saja. Saya hanya berdoa semoga saya
selamat sampai di rumah.
Karena acara doa bersama dan
bukber ini pula, acara mudik saya jadi ikutan tertunda. Menghadiri acara doa
bersama dan bukber hukumnya adalah wajib. Dahulu saya pernah usul, doa bersama
dilakukan pada siang hari setelah jam kantor saja. Supaya saya bisa dengan
nyaman keluar rumah. Tapi usul saya tidak disetujui. Sebenarnya ada alasan
mengapa saya tidak setuju doa bersama pada sore hari, sebab kalau sudah berada
di rumah si kecil rewel bila saya tinggal. Nggak tega saya bila melihat si
kecil menangis meraung-raung.
Sebenarnya saya tak begitu
suka dengan acara bukber di luar rumah. Bukber di luar rumah akan banyak membuang
waktu dan tenaga. Kalau soal uang mungkin tak begitu saya permasalahkan. Tahun yang
lalu pernah diadakan bukber sambil membahas program sekolah. Bukber diadakan di
rumah makan lesehan. Kebetulan rumah makan tersebut termasuk salah satu rumah
makan favorit untuk bukber.
Antrinya lama padahal sudah
berpesan jauh hari. Rumah makan padat berisi pelanggan. Acara pembahasan
program sekolah bertele-tele, ngaya wara. Dan, menu buka puasa yang dihidangkan
saya nilai terlalu berlebihan. Saya masih ingat betul. Katakanlah, yang datang
di acara bukber 20 orang. Mulai dari minuman ada teh panas, es teh, jeruk
hangat dan es jeruk jumlahnya lebih dari dua kali jumlah peserta bukber. Hidangan
pembuka berupa kolak, jumlahnya lebih dari jumlah peserta bukber. Demikian juga
es buahnya.
Untuk makan beratnya, nasi,
lalapan dan sambel dengan beraneka macam lauk. Lele bakar, kakap bakar, bebek
goreng, ayam goreng, yang jumlahnya sangat berlebihan. Sampai-sampai setiap
orang bisa mencicipi keempat lauk tersebut. Setelah selesai acara ternyata
makanan yang tersisa jumlahnya melebihi jumlah perserta. Benar-benar
berlebihan. Apakah ini yang dinamakan menghambur-hamburkan uang?
Lantas bagaimana shalat
maghribnya? Shalat maghribnya mepet waktu, tempatnya terbatas dan rasanya tidak
nyaman dan khusyu. Bagaimana mungkin bisa khusyu kalau peserta bukber di rumah
makan tersebut sangat “meramaikan” suasana dengan bicara kenceng-kenceng.
Saya tidak pernah
memanfaatkan kondisi semacam ini dengan semangat aji mumpung. Bagi saya secukupnya
saja. Ketika saya diminta membawa makanan yang masih ada, saya menolak. Saya hanya
membawa es jeruk dan sambal (untuk melegakan saja). Pikiran saya, saya harus
segera sampai rumah lalu menjalankan shalat maghrib. Kalau pulangnya terlalu
malam, saya takuttttt. Itu saja teman-teman bertanya,”Piye wani ora mulihe?” “Dipeksa
wani, sing penting ndang tekan omah.”
Sangat kontras keadaannya
dibandingkan dengan ketika saya diajak suami berbuka puasa di Matesih hari
Jumat yang lalu. Minumnya teh panas gelas kecil, si Thole susu panas, makan
nasi bungkus, nasi sambal bandeng dan nasi oseng, lauknya bakwan, tempe dan tahu.
Bertiga menghabiskan enam belas ribu lima ratus rupiah saja. Oh ya, nasi
bandeng dan nasi oseng harganya seribu rupiah. Nasinya hanya dua sendok saja. Hemat
bukan? Berpuasa memang untuk menahan segala-galanya. Bisa saja saya dan suami
membeli makanan yang lebih dari itu. Pertanyaannya, buat apa?
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
www.arenakartu.cc
100% Memuaskan ^-^