Di depan Candi Ceto dok.pri |
Beberapa teman saya jelas
meragukan cerita saya yang akhirnya sampai di Candi Sukuh beberapa waktu yang
lalu. Apalagi kemarin malah sampai Candi Ceto yang tempatnya lebih tinggi dan
ekstrem. Mereka memiliki alasan kok kalau tidak percaya. Tapi saya juga punya
alasan untuk mempertahankan cerita saya. Bukan cerita fiktif yang mengada-ada. Ini
kenyataan! Kecewa dan sakit hatikah saya ketika mereka meragukan cerita saya? Tidak
sama sekali! Saya memang tidak pernah menanggapi siapapun yang melihat saya
dengan sebelah mata sambil memicingkan matanya. Biarlah, itu hak mereka.
“Naik apa?”
“Sepeda motor.”
“Nggak mungkin kuat sepeda
motormu untuk diajak naik sampai Ngargoyoso.” (motor saya Impressa)
“Bukan sepada saya. Sepeda
suami.”
Mereka semakin tak percaya. Sepeda
motor suami Yamaha Alfa keluaran tahun 1993-1994. Memang saya dan suami kadang
dicemooh mengendarai sepeda penuh kenangan tersebut. Apakah saya dan suami
bersalah bila memakai kendaraan tua tersebut?
“Naik Alfa?”
“Bukan, Revo.”
“Oh. Motornya baru ya?”
“Nggak juga, sudah lama kok.”
Suatu saat saya memakai
motor suami. Kebetulan suami ada tugas ke Semarang. Daripada motor hanya
diparkir di Kantor Dinas Dikpora, mending saya pakai. Sampai di sekolah teman
saya menagih syukuran. Syukuran apaan? Ternyata syukuran sepeda motor baru. Padahal
sepeda motor sudah lama saya miliki.
Ya, mungkin saya memang
tidak dipercaya kalau bisa naik motor yang lebih baik dari sebelumnya. Tetap bersyukur,
karena dengan bersyukur siapa tahu besok saya bisa membeli kendaraan yang lebih
baik lagi. Amin!
Suatu hari teman suami
bertanya pada saya ketika suami belum pulang dan dihubungi tidak bisa.
“Pak Budi naik motornya
sendiri atau yang hitam?”
“Yang biasa dipakai
sekarang.”
“Kan punya pak Budi yang Alfa itu.”
Dalam hati saya tersenyum. Bu
ibu, itu bukan motor pinjaman. Itu yang hitam motor suami juga, asli lo, nggak
bohong. Belinya juga ada tanda terimanya lo.
Kalau yang ini mungkin lebih
parah lagi kalimatnya. Tapi saya juga Cuma tersenyum saja. Wah benar, kami
tidak pantas memakai motor baik di mata orang-orang. Mungkin karena terbiasa
apa adanya. Atau mungkin dinilai nggak mampu? Ya, tak apalah yang penting tidak
minta-minta orang lain.
“Bu motornya Pak Budi yang
elek (jelek) itu di mana?”
“Itu motornya tidak jelek
kok Bu, masih baik. Sementara disimpan dulu.”
Saya hanya membatin,
ternyata ukuran orang-orang menilai orang lain dilihat dari apa yang dimiliki
dan dapat dipamerkan. Yang tersimpan rapat tidak diketahui orang, tidak bisa
dinilai karena tidak terlihat. Bagi saya tidak masalah.
Semoga motor ayah yang
suaranya trontong-trontong kembali menggema, dan orang-orang mengenal lagi
suami saya yang dulu, bukan yang sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar