Bu Ucok Berjilbab Ungu dok.pri |
Kali ini saya akan menceritakan pengalaman tetangga
yang diberi ujian sakit kanker payudara. Tetangga saya bernama Ibu Ucok. Hari Minggu,
5 Juni 2016 kemarin beliau mengucapkan terima kasih kepada warga Perum Manggeh
Anyar yang telah memberi dukungan baik secara moril maupun materiil.
Hari itu pertemuan rutin PKK di perumahan tempat saya
tinggal. Tapi maaf, sebenarnya saya tidak tinggal di perumahan. Saya tinggal di
tengah sawah, berhubung secara administrasi saya bergabung di perumahan jadi saya
ikut kegiatan PKK di perumahan juga.
Sudah dua kali saya tidak ikut PKK, jadi kali ini saya
menyodorkan diri membantu bertugas. Lah, ternyata memang saya petugasnya. Lo,
kok saya lagi sih petugasnya. Kan saya baru empat bulan yang lalu bertugas. Ya sudah
tidak apa-apa, niatnya juga membantu kelancaran acara. Hehe.
Ketika acara berlangsung, saya menyempatkan diri
mengambil gambarnya Bu RT yang sedang memberi sambutan dan Bu Ucok yang ada di
sampingnya. Kebetulan mereka berada di depan saya. Mumpung ada kesempatan, saya
tak menyia-nyiakan begitu saja. Apalagi saya sudah mendapatkan sekelumit cerita
dari Bu Ucok ketika saya menjenguk di rumahnya beberapa hari yang lalu.
(Begitulah penulis, sekelumit cerita harus dibagikan)
Inilah kisahnya, penuturan Bu Ucok saya tulis dengan
kata ganti saya.
Saya merasa sehat-sehat saja. Ketika saya meraba
payudara (kiri) saya, sepertinya ada benjolan. Saya merasakan itu. Ada perbedaan
antara payudara kiri dan kanan. Akan tetapi bila ditekan tidak terasa sakit. Demikian
juga ketika anak saya menekan juga tidak terasa sakit.
Saya bilang pada suami, dan suami mendukung untuk
segera periksa. Ketika periksa (dan diambil jaringannya/biopsy), hasil
pemeriksaan ternyata ada kanker di payudara saya, stadium awal. Konon katanya
benjolan itu ukurannya kecil, hanya sebesar biji asam. Kata dokter benjolan
tersebut harus segera diambil. Sebenarnya saya sudah siap. Saya berharap dengan
benjolan yang ukurannya kecil ini diambil, semua akan menjadi lebih baik. Setelah
berkonsultasi keluarga besar, saya dan suami semakin mantap untuk melakukan
operasi.
Waktu itu saya berpikiran bahwa yang diambil hanya
benjolannya saja. Tetapi sungguh di luar dugaan saya, ternyata payudaranya juga
diangkat. Saya begitu shock. Saya belum bisa menerima itu. Lalu saya
berkonsultasi ke dokter yang ada di Yogyakarta. Saran dokter di Yogyakarta
sama, yaitu harus diangkat. Kerabat dekat saya yang juga dokter menyarankan
untuk diambil.
Setelah browsing internet, saya mantap untuk diambil
benjolannjya sekaligus operasi pengangkatan payudara. Suami, anak-anak, dan
keluarga besar memberikan dukungan moril pada saya.
Sebelum saya menjalani operasi, saya sempat merenung. Saya
yang sehat wal afiat, tidak merasakan sakit sedikitpun tiba-tiba divonis
kanker. Saya harus kehilangan sesuatu yang dianggap tolok ukur sempurnanya wanita.
Teman dan tetangga juga kaget karena sebelumnya saya tidak pernah mengeluh
sakit.
Akhirnya operasi berjalan dengan lancar. Setelah operasi,
saya juga harus menjalani kemoterapi. Pada saat kemoterapi, barulah saya merasa
tidak sendiri. Yang berada di ruangan kemoterapi ini semua perempuan dengan
kondisi yang sama, mengidap kanker. Sebagian dari mereka adalah mengidap kanker
payudara dan menjalani pengangkatan. Bahkan saya sempat berbincang-bincang
dengan salah satu pasien (kebetulan menunggu giliran menjalani kemoterapi).
Perempuan itu akhirnya ditinggalkan suaminya begitu
saja setelah menjalani operasi pengangkatan payudara. Anak-anaknya dibawa
suaminya, diboyong ke rumah mertuanya. Tinggallah dia sendiri. Menjalani semuanya
dengan sendiri dan sepi. Tak ada lagi celoteh anak-anak yang pernah mengisi
hari-harinya seperti ketika dia sehat. Menurutnya, dia bagaikan habis manis
sepah dibuang. Tapi dia tetap semangat menjalani semuanya. Manusia itu sekadar
menjalankan apa yang sudah digariskan Tuhan.
Saya melihat wanita itu tegar. Sudah setahun menjalani
semua itu, dan kini dia bisa sehat. Tanpa orang-orang yang dicintainya. Hanya keluarga
dari pihaknya yang masih ada.
Saya harus semangat seperti perempuan itu. Saya beruntung
punya suami, anak-anak yang menyayangi saya, keluarga besar saya. Ya, setelah
kemo saya merasakan efek sampingnya. Badan lemas, mual, nafsu makan menurun dan
jari-jari sedikit kaku.
Saya berharap masih ada jalan buat mencari kesembuhan.
Bagi saya ini adalah ujian untuk saya supaya saya lebih dekat pada Allah. Semoga
hanya saya yang mengalaminya, anak-anak dan keluarga saya, tetangga atau siapa
saja jangan sakit seperti saya.
[Kemoterapi masih dilakukan beberapa kali ke depan.
Sekarang Bu Ucok sudah bisa menikmati makanan sehari-harinya meski dalam porsi
kecil dan masih terasa mual. Sebelum mengakhiri ceritanya, beliau sempat mau
menunjukkan hasil operasinya, tapi saya menolak. Tidak usah Bu, saya tidak
sampai hati, Di sudut mata saya ada air yang mau menetes. Saya genggam
tangannya. Saya tak mampu berkata apa-apa.
Dulu kami sering berbagi cerita. Tentang anak-anak,
tentang tanaman sayuran, tentang banyak hal, mengaji dan tadarus Quran. Seiring
dengan kesibukan masing-masing, saya hanya sempat bertegur sapa bila lewat
depan rumahnya. Semoga lekas sembuh, Bu Ucok]
Renungan Ramadhan malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar