Ayo, semangat dok.Faiqah Nur Fajri |
Maafkan kami, saya dan kakakmu yang telah berbohong
dan menyembunyikan ini bertahun-tahun. Semua untuk kebaikan Ibu yang waktu itu
masih sugeng, menjalani hari-harinya setelah divonis menderita tumor limfa. Maafkan
kami, kenapa kami tak berterus terang. Kami tidak tega melihat wajah-wajah
kalian akan berubah setelah tahu yang sebenarnya.
Waktu itu saya dan kakakmu tetap bisa tersenyum dan
memberi semangat pada Ibu. Masih ingatkah kalian ketika Ibu menderita tumor
limfa? Pasti, saya yakin pasti ingat dan itu tak mungkin kita lupakan.
Sebenarnya jauh sebelum Bapak mertua meninggal, Ibu
yang selama itu dikenal kuat tiba-tiba sakit (tak berdaya). Waktu itu dokter
mengatakan sakit Bronkhitis dan sakit perut. Beberapa tahun kemudian, setelah
Bapak meninggal, perut Ibu sakit lagi, kambuh. Setelah berobat, kondisi Ibu
membaik. Tapi lama-kelamaan frekuensi sakitnya semakin sering. Bahkan kalau
tidak minum obat sakitnya tiada tertahan.
Akhirnya suami berinisiatif membawa Ibu cek darah
(total) dan USG. Dari hasil lab, Ibu ternyata mengidap tumor. Waktu itu, Ibu
dan adik ipar berada di luar ruang dokter. Hanya suami yang diajak berbicara
dengan dokter spesialis penyakit dalam, suami akhirnya berkonsultasi sampai
tuntas. Sepulang dari periksa, Ibu istirahat. Di ruang tamu ada saudara-saudara
dari keluarga Ibu dan Bapak.
Suami memberi isyarat pada saya untuk menjauh dari
mereka.
“Mami, Ibu menderita tumor dan harus segera berobat ke
rumah sakit. Mungkin biayanya tidak sedikit. Menurutmu bagaimana?”
“Yah, harta benda yang kamu miliki semua milik orang
tuamu. Seandainya semua kauberikan untuk beliau itu belum seberapa, belum bisa
membalas Ibu dari ketika Ayah bayi sampai sekarang. Sudah menjadi kewajibanmu
mengobatkan Ibu.”
Suami menggenggam tangan saya, matanya berkaca-kaca,
memandang saya dan mengucapkan terima kasih. Apakah ada yang aneh dengan ucapan
saya waktu itu? Rasanya tidak, menurut saya itu biasa.
Pagi harinya, Ibu masuk rumah sakit dan opname. Lebih dari
satu minggu Ibu berada di rumah sakit. Setelah menjalani biopsy dan lain-lain,
dokter mengatakan bahwa Ibu menderita tumor limfa ganas tidak lagi pada stadium
I atau II.
Suami yang diajak berdiskusi dengan dokter minta
pendapat dokter seandainya tidak dioperasi bagaimana? Soalnya Ibu sudah stress dulu
divonis tumor dan tidak mau menjalani operasi. Maka suami diminta untuk
menyampaikan pada siapa pun termasuk Ibu dengan mengatakan penyakit Ibu cukup
diobati (kemoterapi), tidak perlu menjalani operasi karena letak tumor
posisinya sangat tidak menguntungkan (mana ada penyakit yang menguntungkan?). Ada
dampak yang lebih besar bila operasi dilakukan.
Akhirnya Ibu hanya diberi obat dan menjalani
kemoterapi. Kemoterapi dilakukan setiap tiga minggu sekali. Efek dari
kemoterapi yang saya lihat dari Ibu adalah nafsu makan menurun, rambut rontok
(dalam setahun, kepala gundul), kuku menghitam dan jari-jari kaku sulit
digerakkan.
Lebih dari delapan kali Ibu menjalani kemoterapi di
rumah sakit. Setelah kemoterapi terakhir dilakukan, Ibu tak lagi semangat
seperti hari sebelumnya. Waktu opname terakhir, saya dan suami bekerja, jadi
yang menunggu Ibu adalah adik suami yang nomor 2. Adik ipar bilang bahwa tumor
yang diidap Ibu sudah stadium lanjut. (sebenarnya sejak awal saya dan suami
sudah tahu, Ibu mengidap tumor ganas, kemungkinan untuk sembuh kecil).
Akhirnya Ibu tahu juga bahwa penyakitnya sudah tidak
bisa diobati. Ibu putus asa, pasrah, tak lagi bersemangat. Kesehatan Ibu
semakin menurun. Tepat satu tahun setelah Ibu divonis tumor limfa, Ibu sudah
tidak mau makan dan minum. Semua aktivitas Ibu dilakukan di tempat tidur. Suara Ibu juga sudah tidak begitu jelas. Yang bisa
menerjemaahkan maksud dari apa yang diinginkan Ibu hanya adik ipar yang tinggal
serumah dengan Ibu.
Pada Idhul Fitri 2009, saya memulai minta maaf pada
Ibu, minta maaf karena tak bisa memberikan yang terbaik buat Ibu. Demikian juga
suami dan adik-adik ipar saya. Hujan tangis ada di kamar Ibu.
[Suami saya waktu itu dinas di SMP N 2 Jumantono,
mengajukan pindah ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah agar bisa merawat
Ibu tanpa meninggalkan pekerjaan. Kebetulan Kepala Sekolah tempat suami
mengajar mengizinkan dan surat permohonan pindah sudah mendapat persetujuan/tanda
tangan. Pulang dari sekolah, suami bilang pada Ibu bahwa dia akan segera pindah
tempat tugas. Ibu mengangguk]
Setelah maghrib, Ibu menghembuskan napas yang terakhir
kali. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Semoga Allah mengampuni dosa Ibu dan
menerima amalnya.
[Ketika Ibu divonis mengidap tumor, saya lihat Ibu
semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri pada Allah. Ada butir-butir tasbih
yang menemaninya di kamar. Ibu selalu memanfaatkan waktunya untuk berzikir. Alhamdulillah,
dengan diberi ujian sakit ternyata Ibu semakin khusyu ibadahnya]
Pagi ini saya ingat betul kejadian-kejadian 7 tahun yang silam. Ramadhan tahun ini berlalu tanpa Ibu mertua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar