dok.pri |
Aku Ingin Naik Haji Bersamamu
Aku
ingin naik haji bersamamu. Kata-kata itu aku dengar tahun 1995 beberapa hari
setelah kita saling mengenal. Baru beberapa hari. Aku menanggapi dengan santai,
Insya Allah. Eit, tapi mana mungkin? Impossible! Aku di Yogyakarta, kamu di
Karanganyar. Jawabmu, ada cara kita bisa naik haji bersama. Aku diam. Teman
kita yang lain, dari Blora juga bilang,”Mbak, aku ingin kita naik haji bersama.”
Oh, berarti kita usahakan tahun pemberangkatannya sama ya. Biarpun kita beda
kabupaten, beda provinsi.
00000
Dahulu,
saya tak begitu memedulikan kalimat Aku
Ingin Naik Haji Bersamamu. Kata seorang mahasiswa yang baru beberapa hari
saya kenal karena saya dan dia satu kelompok ketika melaaksanakan Kuliah Kerja
Nyata, di Sleman.
Saya
tersenyum menanggapinya. Ah, mana mungkin? Dia berasal dari Kabupaten
Karanganyar, sedangkan saya dari Yogyakarta. Misalnya bisa berangkat pada tahun
yang sama, tapi untuk bertemu di Tanah Suci tentu saja tidak mudah.
Tujuh
belas tahun kemudian. Saya mendengarkan laki-laki tersebut mengucapkan kalimat
yang sama,” Aku Ingin Naik Haji
Bersamamu.” Tahun 2012, uang yang ada di genggaman tangan hanya cukup untuk
mendaftar haji satu orang. Saya bilang kepada laki-laki tersebut,”Berangkatlah
lebih dahulu. Setelah sampai di Tanah Suci, panggil aku dan anak-anakmu.”
“Aku
ingin naik haji bersamamu, kita cari solusinya. Karena denganmu semuanya akan mudah.
Kita akan melakukan banyak hal bersama-sama di Tanah Suci.” Air mataku meleleh.
Ternyata
laki-laki itu tidak ingkar janji. Laki-laki yang saya kenal 17 tahun yang lalu
tetap ingin bersama saya pergi ke Tanah Suci. Siapakah laki-laki yang berani
mengucapkan kalimat Aku Ingin Naik Haji
Bersamamu?
Laki-laki
tersebut sebelum berkenalan dengan saya ternyata 5 tahun sebelumnya telah
memperhatikan saya (ah, jadi ge-er saya). Menurut pengakuannya, tahun 1990,
saya pergi ke kampus naik sepeda onthel. Ternyata dia juga naik sepeda onthel. Dia
hafal dengan rute yang saya tempuh. Tapi saya sama sekali tak pernah tahu
laki-laki tersebut. Nah, tahun 1995 saya mengambil mata kuliah KKN. Laki-laki
tersebut juga mengambil mata kuliah KKN. Bukan kebetulan, rasanya Allah sudah
mengatur semuanya. Saya dan laki-laki tersebut berada pada kelompok kecil yang
sama. Bisa ditebak ceritanya.
Setelah
melalui jalan yang berliku-liku, akhirnya kami bisa mendaftar haji bersama dan ketika
saya ditanya oleh petugas DEPAG tentang muhrim, laki-laki tersebut menjawab,”Saya,
suaminya.”
Terima
kasih, sudah kaupercaya melahirkan, merawat, membesarkan anak-anakmu. Tak pernah
saya sangka ternyata Insya Allah, Aku Akan Berangkat Haji Bersamamu.
Karanganyar, 17
September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar