Mbah Uti, 83 tahun dok.pri |
Belilah
Dagangan Simbah Tanpa Menawar
Kali
ini, saya masih bercerita dan berbagi pengalaman selama perjalanan ke Gua
Selarong. Yang akan saya ceritakan
adalah pengalaman berinteraksi dengan pedagang-pedagang yang berjualan di obyek
wisata. Mereka tak muda lagi, usianya sudah senja. Namun semangat hidupnya
masih tinggi. Rata-rata mereka, simbah-simbah (60-80 tahun) yang secara ekonomi
mampu.
Simbah-simbah
ini tetap berjualan, alasannya untuk hiburan di hari tua. Sebenarnya kalau
untuk makan sehari-hari saja, mereka sudah dicukupi anak dan cucunya. Tapi mereka
ingin berkumpul bersama komunitasnya (ceilee, gayanya). Sebut saja mbah Uti,
umur 83 tahun. Beliau memiliki 5 orang anak dan 16 cucu. Sejak muda, beliau
berjualan di sekitar obyek wisata Gua Selarong.
Saya
sok bertanya-tanya sambil membeli kacang godog, terus memotret. (Sepertinya
simbah action juga, hehe. Mau difoto. Tapi saya sudah minta izin lo)
“Bu,
dibeli kacangnya, sawonya atau makanannya ini.”
“Nggih,
mbah. Kacang godog enam ribu boleh mbah?”
“Boleh.”
Setelah
transaksi selesai, saya pamit mau naik tangga. Saya ditawari sawo yang sudah
matang. Tapi saya menunda membeli sawo. Karena saya masih naik turun tangga,
jadi beli sawonya kalau sudah mau pulang saja.
Simbah menjual mbili dok.pri |
Beberapa
anak tangga berhasil saya lewati. Seorang simbah putri menawarkan dagangannya. “Bu,
dibeli mbilinya atau sawonya.”
“Nanti
mbah. Saya mau lihat atas dulu.”
“Tenan
ya Bu.”
Saya
tersenyum. Wah agak memaksa nih. Tapi bismillah, semoga saya bisa mengurangi
dagangannya. Saya tidak lama berada di atas. Hanya mengambil beberapa gambar
dengan ASUS. Saya balik lagi, menuruni tangga. Saya berusaha mampir ke simbah
yang menawarkan dagangannya. Saya menunjuk mbili (ubi).
“Bu,
mamakmu apa masih?”
“Alhamdulillah,
ibu dan bapak masih sehat.”
“Sampeyan
kok beli mbili. Ini makanan ndeso lo.”
“Saya
biasa makan seperti ini.”
“Orang
kota itu kan biasa makan roti.”
Saya
tersenyum. Ah simbah, saya itu apa-apa doyan, ketela pohon, ubi jalar, mbili,
gadung, dan lain-lain. Lidah saya tidak menolak makanan apapun, tapi saya tetap
selektif. Hanya yang halal dan tidak ekstrim saja yang mampu saya konsumsi. Akhirnya
saya membeli mbili godog lima ribu rupiah. Moga-moga saja nanti di rumah ada
yang nyerbu.
Berjualan untuk hiburan hari tua dok.pri |
Saya
kembali ke lantai dasar tadi. Suami saya membeli sawo ke simbah yang menjual
kacang godog. Rupanya pedagang dekatnya juga ingin dagangannya dibeli.
“Bu,
simbah itu sudah dibeli dagangannya. Masa sawo saya tidak dibeli. “
“Nggih
mbah. Jenengan pilihke. Kula manut mawon, sedasa ewu.”
Simbah
itu memilihkan beberapa buah sawo. Saya tidak menawar, tidak minta tambah. Pokoknya
yang diberikan ke saya, saya terima.
Saya
menyodorkan uang dua puluh ribuan. Simbah ini tak punya uang kembalian. Dia mau
menukarkan uang ke pedagang makanan dan minuman di dekatnya.
“Saya
beri tukar, tapi daganganku dibeli ya Bu.” (modus, tak apalah. Yang penting
mereka berempat sudah saya kurangi dagangannya)
“Nggih,
mbah. Saya beli minuman yang ini.” Saya menunjuk isotonic.
Akhirnya
saya dapat kembalian. Walaupun dagangan mereka laku tak begitu banyak, tapi
mereka senang. Saya jadi ingat ketika saya SMP dulu. Saya membantu Ibu jualan
di pasar. Kalau pas ramai, rasanya senang banget. Tapi kalau lagi sepi, Ibu
harus sabar menunggu pembeli atau mengantarkan dagangan ke konsumen yang
memesan makanan.
Bersyukur,
itulah cara saya mengungkapkan betapa nikmat Allah tak boleh diremehkan. Sekecil
apapun nikmat itu, syukuri. Sekarang, kalau ada pedagang makanan atau apa saja
yang usianya sudah tua, saya ingin berbagi. Nglarisi, dengan cara membeli
dagangannya tanpa menawar.
Sebelum
ke rumah, saya mampir ke Dongkelan. Seperti biasa membeli es camcao kesukaan
Ibu. Akhirnya sampai rumah, oleh-oleh
dibuka, Alhamdulillah untuk rebutan.
Karanganyar,
6 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar