dok.pri |
Maharani
hatinya tercabik-cabik. Setelah menceritakan apa yang dialami kepada suaminya,
Mahendra, biasanya Maharani langsung menulis. Dengan menulis, apa yang ada di
hati keluar semua. Kejengkelan, dongkol dan sesak di dada seolah keluar. Batu sebagai
beban yang membuatnya sesak dan sulit bernafas kini tak lagi ada. Plong! Lantas
Maharani bisa tersenyum dan merasa merdeka.
Kadang
tulisan Maharani seperti tulisan yang konyol. Tapi mungkin itulah yang bisa
diungkapkan. Ketika ada yang mengkritik atau protes, karena orang lain tak
pernah tahu apa yang ada di hatinya. Maharani cukup “mendewasakan” diri, mau
mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya.
Menulis,
itu dilakukan sudah sejak lama. Bukan baru seminggu, sebulan atau setahun
terakhir. Buku harian yang entah kini berada di mana ditulisnya kala dia kelas
2 SMP. Buku harian yang berbeda diisi dengan tulisan hingga lulus kuliah. Mengapa
menulis buku harian? Ya untuk mengeluarkan uneg-uneg, bercerita, dan terapi.
Mengobati
luka hati dengan menulis. Jangan ditanya seberapa ngefek menulis tersebut. Yang
jelas dari menulis ini, kadang ada energy yang tiba-tiba dikeluarkan dalam
bentuk penyelesaian masalah. Hati yang awalnya panas menjadi lebih dingin. Hati
yang perih menjadi tenang.
Kalau
tidak menulis, entahlah bagaimana cara untuk mengobati luka-luka di hati. Kala malam
rintik hujan menemani sepinya, menulis adalah sebuah aktivitas perenungan yang
dahsyat. Merenung yang bermanfaat. Berbicara dengan dirinya sendiri lewat
tulisan.
Sebenarnya
bukan hanya lewat menulis Maharani mengobati luka di hati. Berkomunikasi dengan
Sang Pencipta adalah segala-galanya. Mengambil air wudhu, sujud dan zikir. Berdoa,
mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya. Berharap bebannya berkurang,
punggungnya tegak dan dia bisa menatap dunia tidak dengan menunduk. Bukan berarti
memakai pakaian kesombongan.
Dengan
doa dan menulis, bila berbicara dengan seseorang maka tidak akan sembarangan mengatakan
sesuatu. Kalimatnya bermutu dan berkualitas, logis, sistematis, dan tidak
amburadul. Berbicara tidak dengan emosi dan bisa menahan diri. Menghargai lawan
bicara dengan cara menjadi pendengar yang baik.
Itulah
cara mengobati luka dengan menulis ala Maharani
Karanganyar,
25 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar