dok.pri |
Malam
ini, rintik hujan terdengar dari genteng rumah. Udara sedikit dingin, dan perut
rasanya krucuk-krucuk minta diisi. Kalau makan nasi sepertinya berat. Saya ambil
satu buah pisang lalu menyantap dengan penghayatan yang tulus. Sambil makan
pisang, di dapur saya melihat ada terigu, tepung kanji, dan bumbu dapur.
Akhirnya
saja tertarik untuk membuat cilok seperti buatan kerabat saya beberapa hari
yang lalu. Tak perlu banyak-banyak, sebab saya tidak bermaksud untuk membuka
bisnis cilok. Hanya ingin mencoba membuat saja.
Selesai
membuat cilok dan mencicipi, aktivitas berganti. Acara selanjutnya adalah
menulis. Kali ini saya akan bercerita tentang masa silam yang tak pernah saya
lupa dan pernah saya sesali. Namun, sekarang saya mengambil hikmah dari semua
itu. Apaan sih? Tentang : saya pernah salah jalan.
Saya
pernah salah jalan. Saya kehilangan arah. Saya berjalan semau saya, karena
kurang dorongan. Jangan berprasangka negative dahulu. Bukan apa-apa, saya
pernah salah jalan di sini yang saya maksud adalah saya salah melakukan
pekerjaan. Masalah pekerjaan saja. Bukan yang lain.
Sejak
kelas 2 SMA, saya sudah menulis. Waktu itu tahun 1988-1989 (wow, berarti saya
tak muda lagi dong sekarang? Ya, begitulah kira-kira). Karya saya pernah dimuat
di majalah local. Ketika kuliah, tulisan saya juga pernah dimuat di Koran local.
Bahagianya saat itu, saya dapat honor. Lumayanlah kalau untuk beli mie ayam
bisa dapat 20 mangkok.
Karena
punya modal mau menulis, seharusnya saya melanjutkan menulis. Waktu itu saya
tidak mengenal komunitas, tidak mengenal orang per orang yang bisa menulis. Tidak
ada kompor yang memanas-manasi saya. Kegiatan menulis saya hanya sekadar
menulis cerita yang saya simpan. Mengapa demikian? Karena usaha saya
mengirimkan naskah ke majalah-majalah remaja tak membuahkan hasil.
Saat
itu saya malah berhenti menulis. Saya merasa tidak memiliki bakat menulis yang
bisa menggedor pintu redaksi. Akhirnya saya pindah haluan. Saya malas menulis
cerita anak/cerpen remaja. Saya hanya menjadi penikmat dengan membaca cerpen. Aktivitas
saya untuk mendapatkan uang dengan cara menjadi “pekerja lepas” yang menerima
rupiah tak seberapa. Saya ikut-ikutan tetangga menjahit ikat pinggang, dompet,
tas dan sandal dari kulit.
Dalam
menjahit ini, memerlukan waktu yang lama dan upah yang saya terima tak
seberapa. Kalau dipikir-pikir rugi saya. Apa boleh buat, waktu itu saya ingin
mengisi waktu luang dengan beraktivitas.
Padahal
kalau saya mau meneruskan aktivitas menulis, lama-kelamaan tulisan saya kan
bisa jadi berkualitas. Sayangnya, zaman dahulu kala belum banyak komunitas
seperti sekarang. Interaksi antar penulis juga tidak seintens sekarang. Penulis
pemula tak memiliki “Kompor” yang mampu memanas-manasi.
Mungkin
itulah jalan yang harus saya tempuh, yaitu jalan yang salah. Tapi saya sekarang
bisa mengambil hikmah. Ternyata saya termasuk orang yang “nrimo” menerima uang
recehan.
Belajar
dari salah jalan tadi, kini saya berhati-hati agar tidak salah jalan lagi. Beruntung,
saya hanya salah jalan tetapi tidak tersesat lebih jauh. Sebab pada akhirnya
saya mengajar dan tetap menulis. Yaitu menulis materi pelajaran.
Kalau
sekarang dunia literasi sangat dekat dengan saya karena saya tidak mau
mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Apalagi sekarang bisa
belajar bersama dengan penulis-penulis yang namanya tak diragukan lagi. Bergabung
dengan komunitas menulis, mendapatkan rupiah dengan menulis.
Bagaimana
perasaan saya saat ini? Senang sekali!
Karanganyar,
25 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar