Dua puluh satu tahun (sejak tahun
1995) mengenalnya, kini bersamanya,
selalu indah ceritanya. Bersama anak-anak lengkap sudah kebahagiaan itu. Di balik
semua yang pernah aku dan dia alami, ada sesuatu yang sangat berkesan dan tak
mungkin aku lupakan. Dua puluh satu tahun yang silam, kala kami baru beberapa
hari bertemu. Jelas, waktu itu aku tak pernah menilainya omong kosong atau ngegombal
belaka. Karena dia adalah orang yang serius dan tak suka bercanda (kala itu).
Ketika aku melanjutkan kuliah dari
D3 ke S1, aku pernah mengikuti program semester pendek. Aku mengambil mata
kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Ternyata sebagian besar mahasiswa mengambil
mata kuliah KKN pada semester pendek.
Sebelum berangkat ke lokasi KKN, aku
mengikuti program pembekalan KKN. Di sinilah aku bertemu dia. Kebetulan aku dan
dia berada dalam satu kelompok kecil. Artinya, nantinya tinggal di tempat yang
sama.
Pada saat pembekalan, dia bertanya
padaku. Apakah aku adalah mahasiswa yang naik sepeda onthel dengan rute bla-bla
pada tahun 1990-an? Aku jawab ya. Kok kamu tahu? Katanya, dia juga naik sepeda
onthel dan melewati jalan yang sama denganku. Kebetulan dia mengambil Jurusan Pendidikan
Olahraga sedang aku mengambil Jurusan Pendidikan Kimia. Kampus kami tidak
begitu jauh jaraknya.
Singkat cerita, aku dan teman-teman
yang bergabung dalam kelompok kecil, tinggal di rumah penduduk. Selama 2 bulan,
kami melakukan kegiatan bersama. Sebagian besar kegiatan kami adalah bergabung dengan
penduduk di desa dalam banyak kegiatan. Kegiatan tersebut dilaksanakan dari
pagi hingga malam hari.
Biasanya kami saling berbagi tugas. Dalam
kelompok kecil ini terdiri dari 5 mahasiswa dan 5 mahasiswi. Untuk menyediakan
sarapan, makan siang dan makan malam serta minumannya, kami bekerja sama.
Kalau malam hari, dalam suasana
santai, kami merencanakan program berikutnya pada keesokan harinya dan
melakukan evaluasi kegiatan yang sudah kami laksanakan.
Suatu hari dia bilang ingin
menunaikan ibadah haji bersamaku. Aku tersenyum. Jawabku, Insya Allah. Ternyata
temanku yang lain juga mengatakan hal yang sama, ingin menunaikan ibadah haji
bersamaku. Tapi, apa mungkin? Aku dari Yogyakarta, dia dari Karanganyar, dan
temanku lainnya dari Blora. Ya, mungkin kami bisa berangkat pada tahun yang
sama, tapi kan belum tentu bisa bertemu saat di Mekah atau Madinah. Betapa nekatnya
dia, dia bilang ada cara agar aku dan dia bisa sampai ke tanah suci bersama.
00000
Tahun 2011, aku diuji dengan
kelebihan uang. Aku bilang ke laki-laki yang pernah mengajak naik haji bersama
tahun 1995 tersebut.
“Berangkatlah ke tanah suci lebih
dahulu. Lalu panggil aku dan anak-anakmu, agar kami juga bisa segera ke tanah
suci,”kataku
“Aku akan berangkat bersamamu. Kalau
kita bisa bersama, Allah akan memudahkan urusan kita ketika berada di tanah
suci. Semua bisa kita kerjakan bersama,”jawabnya.
Hampir saja air mataku meleleh. Rasanya
harus menunda lebih lama karena kami hanya memiliki dana untuk mendaftar satu
orang (mendapat porsi). Rupanya Allah menunjukkan jalan-Nya. Tahun 2012, ketika
aku berada di depan petugas DEPAG, mendaftarkan “naik haji”, ditanya siapa muhrimnya,
laki-laki itu menjawab,”saya, suaminya.” Nyes! Laki-laki itu adalah dia yang
tahun 1995 pernah bilang,”aku ingin naik haji bersamamu.”
Aku baru menyadari, bahwa tahun 1995
ketika dia mengatakan ingin naik haji bersamaku adalah momen yang sangat
mengesankan dan tak pernah aku lupakan. Dan ketika dia bilang,”ada cara kita
bisa naik haji bersama,” rupanya itulah cara dia melamarku dengan cara yang
santun dan elegan, tidak main-main.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar