Laman

Minggu, 05 Februari 2017

Pancingen, Pancing dan Dunia Menulisku

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan keadaan saya saat ini. Menjadi sangat berarti karena kondisi saya dengan kondisi si kecil yang berseberangan ini mendadak waktunya bersamaan. Antara pancingen dan pancing, juga tak ada hubungan sama sekali.
Dua hari yang lalu, tepatnya hari Kamis, saya merasakan keanehan pada kerongkongan saya. Tiba-tiba untuk menelan ludah rasanya sakit tak tertahan. Saya tidak mau kalah dengan pancingen (bahasa Jawa dari radang tenggorokan). Saya tidak mau gara-gara pancingen lantas pekerjaan tidak saya kerjakan dengan professional. Saya tetap melakukan aktivitas mengajar dan tugas lainnya dengan baik.
Lama-kelamaan badan saya mulai panas. Panas yang luar biasa untuk ukuran saya kala berada di sekolah. Saya tetap minum teh yang sudah tersedia di meja. Biasanya, saya sedia parasetamol di dompet. Ternyata, saya tidak membawanya.
Tanpa bilang pada teman-teman yang asyik berbincang-bincang di ruang piket, saya tiduran di UKS yang hanya dibatasi sekat saja dengan ruang guru. Saya tiduran sambil mengirim pesan singkat pada suami. Pada suami, saya minta untuk mengirimkan parasetamol.
Cukup lama saya menunggu kedatangan suami. Biasanya, suami memberikan respon cepat pada sms saya. Tumben, kok lama sekali waktu  membalasnya. Selang waktu membalas dengan kedatangan suami ke sekolah juga lama. Sebenarnya kepala tidak pusing, hanya suhu badan saya ini mungkin bisa untuk mengeringkan sapu tangan handuk yang basah (saking panasnya).
Saya tiduran sambil meraba leher. Astaghfirullah, pancingen, kamu telah membuatku tak berdaya. Beberapa saat kemudian teman saya datang membangunkan saya.
“Pak Budi mengirim obat.”
Saya menerima parasetamol dan minuman dari teman. Setelah minum, saya temui suami. Saya minta dibelikan makanan ringan/kudapan buat teman-teman. Teman-teman baru sadar kalau saya sakit.
“Pulang saja Bu.”
“Tidak. Insya Allah segera baikan. Kalau berniat pulang, sejak tadi saya sudah bilang pada suami untuk menjemput.”
00000
Sampai di rumah, badan tidak lagi panas tapi pusingnya mulai muncul. Astaghfirullah, sakit kok ya datang silih berganti. Itu masih gara-gara pancingen.
Sore hari ketika si kecil pulang dari pondok, mulai rewel minta pada Ayahnya untuk memperbaiki pancing, alat untuk memancing. Saya tidak tahu maksudnya apa. Karena beberapa hari sebelumnya saya sudah membelikan senar dan penggulung senar.
Mungkin yang dimaksud si kecil adalah kailnya, atau saya menyebut mata pancing. Karena cuaca tidak bersahabat jadi si kecil tidak dihiraukan. Akhirnya rewel dan bilang poncang-pancing alias pancing melulu.
Kembali ke pancingen saya. Untuk menelan rasanya masih sakit, ditambah pusing, selera makan turun, pakai muntah lagi. Lengkap sudah nikmat sehat yang dicabut oleh sang Pemilik. Saya hanya bisa beristighfar. Meskipun sakit, saya tetap melakukan pekerjaan rumah tangga. Ya, dengan menahan sakit kepala. Kadang saya harus memicingkan mata.
Pagi harinya saya izin tidak mengajar. Aktivitas menulis memang terganggu, saya ganti haluan dengan membaca buku. Pokoknya sakit tidak dijadikan alasan untuk berhenti melakukan aktivitas yang bermanfaat. Saya menyelesaikan membaca buku Aku Mau Jadi Penulis Cerita Anak.
00000
Waktu periksa di tempat dokter keluarga, hasilnya tekanan darah (cukup) normal, positif radang, masih sedikit sakit kepala. Dokter memberi obat (sama yang saya konsumsi di rumah, tambah anti alergi).
Hari Sabtu, saya libur kelas tidak mengajar dan si kecil libur sekolah (si kecil libur Sabtu-Ahad). Oleh karena si kecil juga sakit batuk, maka di rumah ada 2 orang pasien yang merawat dirinya sendiri. Alhamdulillah, si kecil tidak rewel. Efek samping dari obat, membuatnya tidur nyenyak.
Mumpung si kecil tidur, saya mulai menulis. Menulis tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun. Tetap menulis meskipun hanya di buku catatan.
“Menulislah setiap hari, tentang apa yang Anda rasakan saat ini.”
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar