Sebenarnya
tidak ada yang istimewa dengan keadaan saya saat ini. Menjadi sangat berarti
karena kondisi saya dengan kondisi si kecil yang berseberangan ini mendadak
waktunya bersamaan. Antara pancingen dan pancing, juga tak ada hubungan sama
sekali.
Dua hari
yang lalu, tepatnya hari Kamis, saya merasakan keanehan pada kerongkongan saya.
Tiba-tiba untuk menelan ludah rasanya sakit tak tertahan. Saya tidak mau kalah
dengan pancingen (bahasa Jawa dari radang tenggorokan). Saya tidak mau
gara-gara pancingen lantas pekerjaan tidak saya kerjakan dengan professional.
Saya tetap melakukan aktivitas mengajar dan tugas lainnya dengan baik.
Lama-kelamaan
badan saya mulai panas. Panas yang luar biasa untuk ukuran saya kala berada di
sekolah. Saya tetap minum teh yang sudah tersedia di meja. Biasanya, saya sedia
parasetamol di dompet. Ternyata, saya tidak membawanya.
Tanpa
bilang pada teman-teman yang asyik berbincang-bincang di ruang piket, saya
tiduran di UKS yang hanya dibatasi sekat saja dengan ruang guru. Saya tiduran
sambil mengirim pesan singkat pada suami. Pada suami, saya minta untuk
mengirimkan parasetamol.
Cukup
lama saya menunggu kedatangan suami. Biasanya, suami memberikan respon cepat pada
sms saya. Tumben, kok lama sekali waktu
membalasnya. Selang waktu membalas dengan kedatangan suami ke sekolah
juga lama. Sebenarnya kepala tidak pusing, hanya suhu badan saya ini mungkin
bisa untuk mengeringkan sapu tangan handuk yang basah (saking panasnya).
Saya
tiduran sambil meraba leher. Astaghfirullah, pancingen, kamu telah membuatku
tak berdaya. Beberapa saat kemudian teman saya datang membangunkan saya.
“Pak
Budi mengirim obat.”
Saya
menerima parasetamol dan minuman dari teman. Setelah minum, saya temui suami.
Saya minta dibelikan makanan ringan/kudapan buat teman-teman. Teman-teman baru
sadar kalau saya sakit.
“Pulang
saja Bu.”
“Tidak.
Insya Allah segera baikan. Kalau berniat pulang, sejak tadi saya sudah bilang
pada suami untuk menjemput.”
00000
Sampai
di rumah, badan tidak lagi panas tapi pusingnya mulai muncul. Astaghfirullah,
sakit kok ya datang silih berganti. Itu masih gara-gara pancingen.
Sore
hari ketika si kecil pulang dari pondok, mulai rewel minta pada Ayahnya untuk
memperbaiki pancing, alat untuk memancing. Saya tidak tahu maksudnya apa.
Karena beberapa hari sebelumnya saya sudah membelikan senar dan penggulung
senar.
Mungkin
yang dimaksud si kecil adalah kailnya, atau saya menyebut mata pancing. Karena
cuaca tidak bersahabat jadi si kecil tidak dihiraukan. Akhirnya rewel dan
bilang poncang-pancing alias pancing melulu.
Kembali
ke pancingen saya. Untuk menelan rasanya masih sakit, ditambah pusing, selera
makan turun, pakai muntah lagi. Lengkap sudah nikmat sehat yang dicabut oleh
sang Pemilik. Saya hanya bisa beristighfar. Meskipun sakit, saya tetap
melakukan pekerjaan rumah tangga. Ya, dengan menahan sakit kepala. Kadang saya
harus memicingkan mata.
Pagi
harinya saya izin tidak mengajar. Aktivitas menulis memang terganggu, saya
ganti haluan dengan membaca buku. Pokoknya sakit tidak dijadikan alasan untuk
berhenti melakukan aktivitas yang bermanfaat. Saya menyelesaikan membaca buku
Aku Mau Jadi Penulis Cerita Anak.
00000
Waktu
periksa di tempat dokter keluarga, hasilnya tekanan darah (cukup) normal,
positif radang, masih sedikit sakit kepala. Dokter memberi obat (sama yang saya
konsumsi di rumah, tambah anti alergi).
Hari
Sabtu, saya libur kelas tidak mengajar dan si kecil libur sekolah (si kecil
libur Sabtu-Ahad). Oleh karena si kecil juga sakit batuk, maka di rumah ada 2
orang pasien yang merawat dirinya sendiri. Alhamdulillah, si kecil tidak rewel.
Efek samping dari obat, membuatnya tidur nyenyak.
Mumpung si
kecil tidur, saya mulai menulis. Menulis tidak boleh ditinggalkan dengan alasan
apapun. Tetap menulis meskipun hanya di buku catatan.
“Menulislah
setiap hari, tentang apa yang Anda rasakan saat ini.”
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar