Sejak awal
kembali menulis, saya mengajak anak saya untuk menulis. Untuk Faiq yang kala
itu masih SD, saya minta untuk menceritakan pengalamannya sehari-hari lalu
mengirimkannya ke Koran Kedaulatan Rakyat dan Solopos. Memang, satu kali tulisan
pengalaman Faiq pernah dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat dan mendapat honor. Tapi,
setelah itu Faiq tidak mau menulis lagi.
Selain kepada
anak, saya juga mengajak suami untuk menulis. Kebetulan, suami guru olahraga
yang pengalamannya luar biasa banyak. Kegiatan di luar jam sekolah juga penuh,
baik olahraga, bimbingan terhadap anak didik, ekstrakurikuler, dan lain-lain. Seandainya
setiap kegiatan/pengalamannya bersama anak didik atau kegiatan di luar jam
sekolah dituliskannya, tentu seru dan bisa dicontoh oleh orang lain, terutama
murid-muridnya. Namun, sayangnya suami tidak mau menulis.
Suami memang
suka membaca. Bahkan, suami ini pembaca setia blog keroyokan Kompasiana. Alangkah
bermanfaatnya bila kita menuliskan sedikit pengetahuan dan pengalaman kita
untuk orang lain.
Ternyata,
tidak mudah mengajak orang lain (keluarga sendiri) untuk menulis. Meskipun Faiq
sering mengisi blog dan pembacanya banyak, tapi blognya berisi gado-gado dan
masih suka-suka. Padahal Faiq memiliki pengalaman memotret, lo. Alangkah bermanfaatnya
kalau dia bisa menuliskan tentang tutorial.
Saya salut
terhadap teman-teman penulis, di mana mereka juga sedikit memaksa anak-anaknya
untuk menulis. Seperti yang dilakukan oleh mbak Nurul Chomaria, dia memaksa
anaknya untuk menulis lalu diberi honor setiap karyanya yang selesai ditulis.
Dulu saya
juga pernah memberi iming-iming begitu untuk Faiq, tapi anaknya tidak mau
dipaksa. Ya, sebagai orang tua saya memang harus sabar. Saya ikuti saja
kemauannya. Semoga kelak, suatu saat Faiq segera menyadari pentingnya menulis. Lebih-lebih,
Faiq mengetahui bahwa menulis itu bisa mendatangkan materi. Pasti dia akan
ketagihan.
Ketika saya
seusia Faiq (kelas 2 SMA), saya mulai menulis dan berhasil tembus media. Waktu itu
tidak ada yang memaksa. Saya mempunyai inisiatif sendiri. Kemudian mendapat
dukungan dari keluarga. Alangkah bahagianya saat itu. Padahal waktu itu menulis
tidak gampang. Proses menulis artikel dengan mengetik secara manual
perjuangannya lebih berat dibanding dengan menulis saat ini.
Saya tetap
tidak bosan mengajak keluarga saya untuk menulis. Kalau saya bisa mengajak
orang lain untuk menulis, mengapa saya tidak berhasil mengajak keluarga sendiri
untuk menulis?
Karanganyar, 22 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar