Trofi Sang Juara dok.pri |
Beberapa hari yang lalu, suami sangat
sibuk dengan turnamen bulutangkis yang diadakan dalam rangka memperingati Hari
Jadi DPRD Kabupaten Karanganyar. Padahal dua minggu sebelumnya juga menjadi
panitia PORKAB. Kalau sudah begitu, saya dan anak-anak tidak bisa mengganggu
gugat.
Pada saat seperti itu saya harus
menyingsingkan legan baju. Pekerjaan saya dua kali lebih berat dari hari-hari
biasa. Hal ini berkaitan dengan urusan anak-anak. Beruntung, saya diberi kesehatan
yang memadai selama itu. Meskipun hujan-hujanan, Alhamdulillah tidak lantas
membuat saja drop. Selalu bersyukur dan memberikan pengertian pada anak-anak.
Kepada si kecil, saya selalu memberikan pengertian, kadang saya ajak ke tempat
Ayahnya bertugas di lapangan bulutangkis. Dengan demikian, frekuensi rewelnya si
kecil berkurang. Maklum, si kecil sangat dekat dengan Ayahnya. Kalau sehari
tidak bertemu, bisa uring-uringan.
Biasanya, kalau ada turnamen, suami
masuk sekolah di pagi hari. Siang, sore hingga malam hari berada di lapangan
bulutangkis. Tak ada waktu untuk keluarga. Saat menjelang maghrib baru pulang,
lalu membersihkan diri. Setelah shalat biasanya saya sarankan untuk tiduran,
sebab malam hari pekerjaan selesai dan sampai rumah sekitar pukul setengah
satu.
Rupanya, anak saya yang besar juga
sering memikirkan Ayahnya. Dia merasa kalau pekerjaan Ayahnya berat. Dhenok
sering mengkhawatirkan kesehatan Ayahnya. Dia tidak tega kalau Ayahnya kurang
istirahat. Apalagi setiap turnamen, selain menjadi panitia inti, Ayahnya juga
menjadi peserta turnamen/ikut pertandingan.
Yang terakhir, saya meyakinkan pada
Dhenok kalau Ayah baik-baik saja. Mami sudah pro aktif dan selalu mengingatkan
pada Ayah untuk istirahat barang sebentar. Selama turnamen berlangsung, Dhenok
juga sulit tidur. Biasanya dia menunggu sampai Ayah pulang dari lapangan
barulah dia bisa tidur dengan tenang dan tidak gelisah.
Nah, Dhenok kan tahu kalau Ayah juga
ikut pertandingan. Dia berharap Ayah mendapatkan nomor. Tapi Ayah bilang kalau
sudah kalah. Yeahhh, Dhenok kecewa dong. Padahal Dhenok sudah bilang kalau dia mendoakan
Ayah minimal juara empat. Lumayan kan hadiahnya enam ratus ribu untuk berdua
(ganda veteran).
Hari terakhir final sudah selesai. Hari
esok suami sudah tidak ke lapangan lagi. Tinggal merekap daftar para juara. Namun
demikian, tetap saja pekerjaan di rumah jadi menumpuk. Suami ingin semua bisa
segera diselesaikan. Memang, ada panitia yang lain yang melaporkan hasilnya
secara online tapi laporan secara tertulis (bukti fisik beruta cetakan) tetap saja
dibutuhkan.
Kata suami, pekerjaan selesai kalau
sudah pembagian trofi. Setahu saya, kalau trofi biasanya diserahkan pada saat
final. Kali ini tidak! Trofi dan hadiah berupa uang pembinaan diserahkan pada
acara puncak di gedung DPRD.
Iseng-iseng saya ikut melihat
bagan-bagan yang sudah penuh dengan coretan-coretan. Olala, saya menemukan nama
suami dan pasangannya berada pada urutan ketiga. Senang rasanya kalau suami
bisa berhasil. Tapi saya juga tahu, uang pembinaan sebesar delapan ratus ribu
rupiah yang akan diterima akhirnya masuk ke klub. Itu sudah biasa.
Dhenok girang sekali,”lumayan, Ayah
dapat empat ratus ribu.”
“Uangnya masuk klub, Nok. Ayah dan
temannya paling nanti membawa pulang trofi saja.”
“Oh, gitu ya?”
Untuk mengobati kecewa, suami berjanji
akan menraktir kami. Alhamdulillah, rezeki isteri dan anak sholeh dan sholehah.
Bego, keruk buat Faiz dok.pri |
00000
Dua minggu telah berlalu. Sore ini si
kecil teriak kegirangan melihat trofi berada di atas meja ruang tamu.
“Ummi, ini pialanya Ayah.
Alhamdulillah, Ayah dapat piala.”
Saya tersenyum. Trofi/piala tersebut
merupakan bukti fisik prestasi suami dan pasangannya ketika bertanding. Tapi saya
lebih bangga dengan prestasi suami yang selalu mengutamakan pekerjaan. Kerjanya
cukup professional, sehingga setiap ada kegiatan di Kabupaten, selalu saja dia
ikut andil. Bukan hanya bulutangkis, tapi juga renang dan kegiatan lainnya. Dan
saya selalu bersyukur, di tengah kesibukannya selalu ingat kewajibannya sebagai
muslim.
Dibanding dengan suami, saya tidak
memiliki prestasi apa-apa di kabupaten. Saya cukup menjadi orang nomor satu di
belakang suami. Saya cukup mengasuh anak-anak secara Islami, memberikan teladan
bagi anak-anak. Saya cukup berprestasi di keluarga saja. Saya tak memiliki
piala, tapi saya pun sang juara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar