Pulang kampung |
Setelah ikut
mendampingi siswa-siswi melaksanakan kunjungan industry di Bengkel UD Rekayasa
Wangdi, MMTC Yogyakarta dan CV. Karya Hidup Sentosa, saya langsung ke rumah Ibu
dan Bapak. Rombongan menuju Pantai Parangtritis.
Alhamdulillah,
saya bertemu dengan Ibu, Bapak, keponakan (mbak Afi) dan kakak nomor 2 (mbak
Anna). Waktu saya lebih banyak saya gunakan untuk berbincang-bincang dengan Ibu
dan Bapak. Sebelumnya, the panas sudah dihidangkan oleh Bapak untuk saya. Maklum,
ke rumah Bapak ibaratnya hanya “mampir ngombe” karena hanya beberapa jam saja.
Bapak mulai
bercerita tentang tetangga yang beberapa waktu yang lalu meninggal dunia. Bulan
Januari, saya dan Bapak sempat membicarakan tetangga saya yang sakit ginjal. Awalnya
sang tetangga mengeluh sakit maag. Bertahun-tahun keluhannya seperti itu. Tapi ternyata,
setelah sekian tahun kemudian, yang terjadi adalah kondisi yang lemah dan bukan
sekadar sakit maag seperti yang dikeluhkan, melainkan sakit ginjal. Tetangga harus
menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu.
Singkat cerita,
seminggu sebelum meninggal, tetangga memanggil semua anak dan menantunya. Setelah
berkumpul, beliau mengatakan bahwa sepertinya beliau sudah tidak bisa untuk
melaksanakan ibadah haji. Uang tabungan untuk pergi naik haji dan tabungan yang
lain (lebih dari 50 juta rupiah ) dibagikan untuk ketiga anaknya dan isterinya
dan sisanya untuk diinfakkan ke masjid. Yang diinfakkan jumlahnya jutaan rupiah
(tidak perlu saya sebutkan). Selain itu, tetangga juga berwasiat.
Sehari sebelum
jadwal cuci darah, tetangga saya minta seluruh anggota keluarga dikumpulkan. Bapak
saya yang bukan siapa-siapa (bukan saudara, hanya tetangga dekat) juga diminta
anggota keluarganya datang. Rupanya mereka merasa tenang dengan kehadiran
Bapak. Mereka minta didoakan. Bagi Bapak, doa yang paling utama adalah dari anak,
isteri dan keluarganya. Tapi, menurut mereka, Bapak lebih tahu dan keberadaan
Bapak membuat mereka tenang.
Beberapa
saat kemudian, Bapak pamit untuk melaksanakan shalat. Di rumah, belum juga
shalat, kembali Bapak dipanggil untuk ke rumah tetangga. Setelah shalat, Bapak
membaca Alqur’an di rumah tetangga. Suasana tenang, sejuk. Sesekali anggota
keluarga mendekati tetangga saya.
Oleh karena,
dari pagi Ibu dan Bapak berada di rumah tetangga dan Ibu belum makan, maka Ibu
mengajak pulang untuk makan dahulu. Sampai di rumah, belum sempat Ibu dan Bapak
makan, kembali Bapak dipanggil keluarga tetangga saya.
Bapak melihat
tetangga saya seperti orang tidur. Setelah minta kaca/cermin, cermin didekatkan
pada hidung tetangga. Tidak ada uap sama sekali.
“Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun. Bapak sudah meninggal.”
Tidak ada
teriakan histeris. Mereka menangis tapi tetap tenang karena sudah mengikhlaskan
sejak lama.
Waktu itu
saya mendapatkan pesan WA group keluarga. Saudara kandung meminta untuk semua
anak-anak Bapak untuk melayat. Dari keenam anak Bapak, hanya saya yang tidak
melayat. Saudara saya dari Blora juga melayat.
Bapak bilang,”Pak
Marsono itu orang baik. Orang desa yang tak tahu apa-apa, tapi mau belajar
agama. Beliau juga dermawan, kalau sedekah tidak tanggung-tanggung. Semoga khusnul
khotimah.”
Saya mendengarkan
cerita Bapak dengan perasaan terharu. Bapak, sesepuh itu tetap sehat. Dibutuhkan
banyak orang. Saya pandangi wajah Bapak, memang teduh.
Jam delapan
malam, saya harus ke Malioboro sesuai janji saya untuk ikut rombongan pulang
kembali ke Karanganyar. Waktu saya pamit Ibu dan Bapak:
“Hati-hati
ya momong anak-anak. Ojo lali shalate,”kata Bapak.
“Hati-hati
ya,”kata Ibu.
“Ojo
lali panenane,”kata mbak Anna.
Gerimis mengiringi
perjalanan saya dari kampung halaman tercinta sampai tempat parkir Abu Bakar,
timur stasiun Tugu. Terima kasih ya, mbak Afi sudah mau mengantar Bulik yang
cantik ini.
Karanganyar, 3 Maret 2017
*Foto : dokumen Noer's
Tidak ada komentar:
Posting Komentar