Bagi
saya dan teman-teman guru, libur akhir puasa adalah saat yang ditunggu-tunggu.
Dua tahun yang silam, bagi kami libur akhir puasa tetap saja kami suka cita
kalau piket di sekolah. Berbeda dengan dua tahun terakhir. Kami ingin secepatnya
libur dan masuk sekolah lagi sesuai jadwal yang telah ditentukan pemerintah.
Ada
sesuatu yang membuat kami ingin menikmati libur akhir puasa, yakni ingin
melepaskan penat saja. Sebelum bulan puasa tiba hingga tiga minggu puasa telah
kita jalani, kami harus lembur-lembur di sekolah. Bahkan saya selama itu tidak
mengurus anak-anak.
Begitu
ketua guru memberitahukan libur, hati kami plong. Komunikasi kami (sesama guru
dan karyawan) lakukan lewat WA dan kami tetap merasa dekat satu sama lain.
Hingga akhirnya lebaran tiba.
Hari
terakhir puasa, saya, suami dan si kecil melakukan perjalanan mudik ke kampung
halaman (Yogyakarta). Setelah asar kami berangkat. Perjalanan sore hari memang
mengasyikkan. Cuaca tidak terlalu panas. Kecepatan sepeda motor juga alon-alon
waton klakon.
Sampailah
kami di perbatasan Klaten dan Prambanan. Kami singgah di Rumah Makan Minang
Masakan Padang. Bagi saya dan suami, masakan padang adalah menu yang netral. Dan
rasanya juga tidak mengecewakan.
Kami
melanjutkan perjalanan. Sampai di Janti, kami tidak belon ke kiri, melainkan
lurus. Benar-benar perjalanan yang tidak saya duga, sebab kami lewat Tugu
Yogyakarta ke barat (perempatan Pingit).
Alhamdulillah,
kami benar-benar terhindar dari macet. Ini semua berkat suami yang bisa membaca
kondisi jalanan. Akhirnya sampailah di rumah Ibu dan Bapak. Saat itu azan Isya
berkumandang.
00000
Kebetulan
saya dan adik saya yang tinggal di Rejodani tiba di rumah Ibu hampir bersamaan.
Bapak langsung membuatkan kami minuman kesukaan yaitu teh panas.
Ada yang
harus adik saya lakukan mala mini, yakni mencarikan obat buat Ibu. Ibu memang
rutin mengkonsumsi obat darah tinggi. Kebetulan dua hari sebelumnya obat sudah
habis, padahal dokter langganan sudah cuti. Adik saya berusaha mencarikan obat
di apotek. Hanya saja, bungkus obat tidak utuh, jadi nama obatnya tidak begitu
jelas. Menurut apotekernya, obat tersebut adalah XYZ. Di apotek tersebut XYZ
tidak ada. Obat lain yang khasiatnya sama dengan XYZ memang ada (beda pabrik). Tidak
mau ambil resiko, adik saya tidak jadi membeli obat di apotek buat Ibu.
Kami
menuju PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Adik dan ipar saya biasa memeriksakan Ibu
secara rutin di PKU. Berharap semua bisa teratasi, kami optimis mendapatkan
obat. PKU Muhammadiyah, tidak jauh dari rumah kami. Tapi kami tetap saja tidak
bisa lancar jaya untuk sampai PKU. Mengapa demikian? Malam takbiran di
Yogyakarta memang beda. Jalan raya macet saat takbir keliling, itu hal biasa. Dan
kami kena macet. Kami harus sabar menunggu peserta takbir keliling yang
melakukan atraksi. Bosan, tidak sabar, marah-marahkah kami? Tidak! Kami menikmati
macet, kami menikmati atraksi tersebut setelah sampai di PKU Muhammadiyah, Jl.
Kauman.
Menunggu
proses untuk mendapatkan obat yang tidak sebentar, tak terasa perut keroncongan
dan haus. Oi, di seberang jalan ada penjaja wedang ronde. Dengan semangat, Faiq
dan keponakan saya menyeberang jalan untuk mendapatkan wedang ronde. Hasilnya zonk,
wedang ronde habis. Nasib kami!
Perjalanan
pulang dari rumah sakit menuju rumah dibuat hepi. Mampir dulu di angkringan
untuk mendapatkan teh panas. Alhamdulillah, plong rasanya. Sampai di timur Bugisan,
ternyata ada barisan takbir keliling dari kampung Suryowijayan. Lumayan panjang,
dari timur perempatan Bugisan sampai Pojok Beteng Kulon. Padahal sudah jam
sepuluh lebih. Mereka tetap semangat. Anak-anak, remaja dan dewasa berbaur. Masya
Allah, luar biasa! Inilah Yogyakarta. Inilah hari terakhir bulan Ramadhan. Besok
pagi kita akan melakukan shalat Idulfitri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar