Beberapa
tahun yang silam, teman saya Guru Agama Islam bercerita. Selama beliau menjadi
Guru dan mengajar, bila seorang siswa tidak “sangat keterlaluan” maka pantang
baginya memberikan nilai enam ke bawah. Paling tidak beliau akan memberi nilai
tujuh.
Teman
saya percaya, seandainya siswanya tidak bisa mengerjakan soal ulangan harian,
tes semester atau tes kenaikan kelas, tapi siswa tersebut bisa membaca surat Al
Fatihah, surat-surat pendek, bisa shalat, dan benar bacaannya serta mengerjakan
puasa. Nilai ulangan atau tes yang jeblok atau jatuh bisa ditolong dengan
remidi dan amalan lainnya. Maka, tidak ada yang aneh kalau nilainya minimal
tujuh.
Teman
saya tidak pelit memberi nilai dalam bentuk angka. Harapannya, setiap Guru
Agama Islam, juga akan melakukan hal yang sama dengan beliau. Tapi apa yang
terjadi? Nilai Agama Islam pada rapor putrinya hanya enam. Teman saya tidak
marah, hanya kaget saja. Mosok, Bapaknya Guru Agama Islam, anaknya rajin
shalat, puasa, menangkap pelajaran juga tidak bodoh-bodoh amat, kok nilai Agama
hanya enam.
Menurut
saya, benar apa yang dikatakan teman saya. Mapel Agama Islam, cara menilainya
bukan dari gabungan angka-angka saja. Seharusnya ada faktor X yang membuat
nilai itu angkanya “enak dan manis dipandang mata”, paling tidak tujuh.
Contoh
lagi, seorang anak berbudi pekerti baik, tapi karena belum fasih baca tulis,
nilai akhlak di rapor hanya 55. Anak setiap zuhur dan asar di sekolah mengikuti
shalat berjamaah, mengikuti doa bersama, bisa membaca dengan benar bacaan dalam
shalat, bisa melakukan wudhu sebelum shalat, nilai fikihnya 50. Apakah amal dan
perbuatan baik anak tadi, tidak diikutkan dalam penilaian? Apakah nilai ini
hanya didapat dari ulangan harian, tes semester atau kenaikan kelas saja? Apakah
tidak ada unsur lain yang bisa untuk mengangkat nilai anak tersebut menjadi
lebih tinggi?
Benar
juga kata kenalan Guru yang sudah senior, biji ora kulakan we kok pelit-pelit
dikasih ke siswa. Bukan berarti mengabaikan proses penilaian, tapi mari kita
cermati lagi. Sudah pantaskah kita memberi nilai hanya sekadar angka tanpa
mempertimbangkan akhlak, amal perbuatan, kebiasaan anak-anak didik?
Saya
kira memberi nilai pada rapor untuk pelajaran Agama, akan berbeda dengan
memberi nilai untuk pelajaran matematika.
Pantas
saja teman saya (Guru Agama Islam) kaget, mendapatkan nilai 6 pada rapor
anaknya, puluhan tahun yang silam.
Karanganyar,
17 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar