Nabung dan gadai |
Sejak
kecil, saya suka menabung uang recehan. Saya masih ingat, ketika kelas 5 SD,
saya menabung dengan cara memasukkan uang receh ke dalam tabungan yang terbuat
dari tanah liat (celengan). Celengan ini ukurannya tidak terlalu besar. Pada masa
itu memang sebagian anak seusia saya, kalau menabung ya uangnya dimasukkan ke
dalam celengan.
Setelah
serasa cukup banyak uang yang saya kumpulkan (celengan tidak pernah saya bawa,
ambil, jadi celengan tetap berada di tempat), saya berniat untuk memecah
celengan. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Celengan saya ringan
bahkan tidak ada suara khas uang receh dalam tabungan. Padahal lubang untuk
memasukkan uang juga tidak berubah menjadi lebih besar. Apakah thuyul telah
mengambil uang saya? Olala…. Tentu saja thuyul tidak mau mengambil uang receh
dengan nominal 5, 10, 25, atau 50 rupiah. Akhirnya, celengan saya balik. Bagian
bawah bukan lagi tanah liat utuh, melainkan sudah ditempeli kertas tebal.
Tidak
usah terlalu lama saya menemukan siapa pelaku pengambilan uang celengan
tersebut. Pokoknya ada yang ngaku. Hayo, kalau ada yang berani mengaku silakan
ngacung.
Waktu
SMP dan SMA, saya juga sering menabung. Meskipun uang saku terbatas, saya tetap
menabung. Saya suka menyimpan uang. Tujuan saya menabung adalah untuk membeli
barang kesukaan saya.
Kalau
sampai sekarang, di saat saya tidak imut lagi, masih suka menabung, itu karena
menabung adalah gaya hidup saya. Kini saya mulai merasakan manfaat menabung. Bukan
hanya uang dan emas, gabah saja juga saya tabung. Saya memang bukan tipe
pemboros. Apa yang saya beli dan saya miliki, semua itu memang saya butuhkan. Saya
tidak memaksakan diri membeli barang yang tidak saya butuhkan. Saya juga tidak
mau membeli barang hanya untuk memenuhi gaya hidup. Kebetulan saya dan suami
juga memiliki kesamaan, tidak suka belanja. Jadi kami memang sudah klop.
Saya
termasuk orang yang suka membeli barang dengan bayar tunai. Kalau belum punya
uang, ya tunda dulu pembeliannya. Seandainya ada kebutuhan mendesak, tapi kami
belum memiliki dana yang cukup, biasanya suami meminjam uang ke koperasi
(kondisi kepepet).
Tips
menabung ala saya: mengumpulkan semua uang receh, menabung di awal terima gaji,
menabung dalam bentuk emas (tidak mudah tergiur untuk menjual), menabung secara
konsisten dan gunakan uang tabungan seperlunya.
00000
Ketika
saya mau menikah, saya bertanya pada calon suami (berapa uang yang akan
diberikan untuk saya dan barang-barang apa saja yang akan dibawa saat pasok tukon) tentang
sesuatu yang akan dibawa saat pasok tukon. Suami mengatakan pada saya sejumlah
uang dan barang yang rencananya akan diberikan pada saya. Bukan bermaksud
matre, saya bilang seandainya uangnya ditambah bisa atau tidak? Katanya, itulah
uang yang dia kumpulkan selama mendapatkan gaji CPNS. Saya kompori lagi, mbok
hutang koperasi gitu. Jawabannya sungguh tegas! Katanya, dia bisa hutang
koperasi, tapi nanti tiap bulan sisa gaji yang diberikan pada saya setelah
menikah jumlahnya lebih sedikit. Ini baru permulaan, ternyata dia tidak mau
berhutang.
Yang
kedua, setelah 2 tahun ikut mertua, tiba-tiba mertua menyarankan kepada suami
untuk membangun rumah. Saya belum memiliki tabungan sama sekali. Tabungan saya
hanya sebatas kayu, bata, dan besi. Saya usul, tidak usah membangun rumah kalau
dana yang harus dipersiapkan besar. Menyewa rumah mungil perumahan tipe 21
saja. Atau membeli perumahan tipe 21 lewat KPR.
Ternyata
rencana saya dan suami diketahui mertua. Bapak mertua bilang kalau kami tinggal
di perumahan tipe 21, mereka tidak akan menjenguk/berkunjung ke rumah kami. Menurut
saya saat itu, itu adalah suatu ancaman. Pokoknya kami harus membangun rumah
sendiri.
Karena
kami tidak memiliki dana sama sekali, maka kami minta bantuan Bank. Sungguh berat
kehidupan kami setelah menempati rumah sendiri yang tutup jendela dan pintu
belum sempurna. Ada kejadian yang sampai sekarang tidak akan saya lupakan. Suatu
hari, saya benar-benar tidak memiliki uang yang cukup. Susu yang biasa diminum
Faiq habis. Faiq minta dibuatkan susu. Saya menitikkan air mata sambil berkata,”Nok,
hari ini minum teh dulu ya. Besok Mama belikan susunya.” Faiq mengangguk. Saya merasa
sangat bersalah.
00000
Bagi
saya, hutang pada bank untuk membangun rumah, adalah pengalaman yang terberat
saat itu. Lambat laun, ekonomi semakin mapan. Kami bisa menutup pinjaman dari
bank. Selanjutnya, saya menabung untuk menyempurnakan rumah kami. Alhamdulillah,
bisa mengaci tembok, memasang keramik lantai, membuat dapur dan lain-lain.
Tahun
2008, kami harus berurusan dengan bank lagi. Kali ini benar-benar kami
membutuhkan bantuan bank. Saya dan suami harus membiayai pengobatan Ibu mertua
(Bapak mertua meninggal tahun 2006). Ibu divonis mengidap tumor limfa (ganas). Tentu
saja biaya yang harus kami keluarkan banyak dan kami tidak memiliki sejumlah
uang untuk pengobatan Ibu.
Usaha
kami untuk pengobatan dan demi kesembuhan Ibu tidak kurang-kurang. Manusia berusaha,
tapi Allah yang menentukan. Tahun 2009 Ibu meninggal dunia. Setelah Ibu
meninggal dunia, saya dan suami ingin sesegera mungkin melunasi hutang bank. Tidak
lama kemudian, setelah Allah menurunkan rezeki lewat suami, kami bisa melunasi
pinjaman dari bank.
Kembali
kami menabung lagi dan menabung. Suatu hari, suami mengutarakan niat untuk
membeli kendaraan roda empat. Tujuannya agar kami berempat kalau mudik atau
bepergian bersama tidak repot. Saya bilang tidak. “Kita belum membutuhkan
kendaraan. Kalau mudik, Ayah dan kakak bisa naik sepeda motor. Mami dan thole
naik bus. Kakak kan lebih suka naik motor.”
Suatu
malam saya coret-coret menghitung bila hutang pada koperasi. Misalnya, kami
meminjam uang 70 juta. Kami mecicil selama 5 tahun atau 60 bulan. Tiap bulan
kami harus setor 2.217.000 rupiah. Jasa koperasi tiap bulan 1.050.000 rupiah.
Bagi
saya mobil belum kami butuhkan dan tidak penting. Uang 1.050.000 rupiah ini, bagi saya sangat besar. Menurut
saya, uang itu bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Hidup tidak terasa
sempit. Kalau tidak punya hutang, mau makan rasanya enak, dan tidur juga
nyenyak. Mungkin suami kecewa dengan pendapat saya dan sudah menjadi
kesepakatan (terpaksa sepakat).
Beberapa
bulan kemudian, suami dapat rezeki nomplok (warisan yang di luar perhitungan
sama sekali), kami dapat tunjangan sertifikasi. Menabung! Itulah kesepakatan
kami, dan Alhamdulillah bisa kami tabung dalam bentuk sebidang tanah. Saya sangat
bersyukur, dengan tak memiliki hutang, hidup kami terasa nyaman. Kalaupun ada
sedikit pinjaman koperasi, kami masih merasa ringan untuk mencicil.
Prinsip
kami yaitu tiap bulan harus bisa menabung dan sebisa mungkin menghindari
hutang. Saya tidak anti berhutang, saya juga tidak menghalangi bagi mereka,
atau siapa saja berhutang. Toh yang akan melunasi juga yang berhutang sendiri. Hutang
itu sangat memberatkan. Kata orang-orang yang tahu bidang ekonomi “berhutang
itu, kita kerja, yang untung yang memberi hutang. Kita tidak menikmati jerih
payah kita.” Bener juga ya.
Yang
sudah telanjur berhutang, mari cepat-cepat menyelesaikan. Agar kehidupan kita
tenang, nyaman, damai, tidak emosi, murah senyum, dan waktu kita tidak habis
untuk membayar bunga atau jasa.
Tulisan
ini tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa, kalau ada yang memiliki kejadian
atau mengalami hal serupa, itu hanya kebetulan saja. Tulisan ini sarana untuk
koreksi diri saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar