Tulisan
ini semata-mata pengalaman pribadi yang bisa diambil hikmahnya. Tulisan ini
tidak dimaksudkan untuk pamer belaka. Kalau dalam tulisan ini, ada yang tidak
sependapat atau sepakat, ya silakan. Saya tidak memaksa untuk sependapat dengan
saya.
Seperti
pada tahun-tahun sebelumnya, tiap sore hari saat Iduladha saya selalu
menyempatkan ke rumah kerabat jauh suami. Kerabat tersebut adalah Lik Dalinem
dan Lik Paiman. Meskipun mengenal keduanya setelah saya menikah, tapi kami
seperti mengenal sudah lama.
Lik Dalinem
biasa membantu Ibu mertua kalau Ibu mertua sedang repot memasak. Lik Dalinem juga
pernah diminta untuk menunggu rumah ketika rumah Ibu mertua kosong ditinggal
pergi.
Nah,
saat Iduladha, saya dan suami biasanya mendapatkan daging kurban dari sekolah
dan masjid dekat rumah. Biasanya, saya mengambil sedikit saja. Selebihnya saya berikan
kepada Lik Dalinem.
Di desa
Lik Dalinem waktu itu tidak ada yang menyembelih hewan kurban. Jadi, tiap
Iduladha pun, belum tentu keluarga Lik Dalinem makan daging. Mengetahui hal
itu, suami berinisiatif tiap Iduladha, daging kurban pemberian dari masjid atau
sekolah, kami berikan kepada keluarga Lik Dalinem.
Lik Dalinem
memiliki 3 anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Anak perempuan Lik Dalinem
mengikuti suaminya. Anak pertama (bekerja di pabrik tahu) Lik Dalinem sudah
berkeluarga dan tinggal di rumah Lik Dalinem. Anak keduanya sudah memiliki rumah sendiri,
berdagang cilok, es, mie gulung.
Setelah
saya silaturahmi, biasanya saya dibawakan cilok. Cilok sederhana, murah meriah
karena memang cilok tersebut pelanggannya anak-anak sekolah. Meskipun kelasnya
kelas anak-anak sekolah, tapi cilok ini rasanya mantap.
Beberapa
kali saya melihat proses pembuatan cilok. Benar-benar sangat sederhana. Ada cilok
biasa tanpa isi, cilok tahu dan cilok isi irisan telur dadar. Cilok rebus bisa langsung
disantap hangat-hangat, akan lebih
nikmat bila dicelupkan ke dalam saos, kecap atau sambal pecel. Kalau ingin
digoreng, cilok dilumuri telur kocok dahulu.
Hari
ini, saya mendapatkan cilok lagi. Rencananya, cilok-cilok tersebut akan dibawa
Dhenok ke rumah temannya. Hari Sabtu besok, Dhenok akan masak daging bersama
teman-temannya. Teman-teman Dhenok berbagi tugas membawa makanan
ringan/minuman.
Nah,
Dhenok meresmikan cilok hangat tersebut dengan digoreng. Saya jadi pingin juga.
Saya kan yang diberi, maka saya harus mencicipi sebelum dibawa Dhenok. Tadi Dhenok
bertanya,”Mami beli berapa?”
“Mami
minta satu plastic. Tapi Mami bayar lebih dikit. Kasihan, mereka berdagang,
jangan sampai kita Cuma minta gratisan. Mereka kan pedagang kecil. Jadi modalnya
nggak habis. Sekali tempo tak apalah kita diberi gratisan. Tapi jangan
sering-sering.”
Kerabat
saya penjual cilok, biasanya menolak pemberian saya tapi saya memaksa. “Semoga barokah
ya, Mas!”
Karanganyar,
1 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar