Harta
paling berharga yang saya miliki adalah dua anak saya, Dhenok dan Thole. Dengan
segala cara, saya akan berusaha sedekat mungkin dengan mereka. Kalau sekarang
saya harus mengikuti jam sekolah lima hari sekolah, itu artinya saya bisa
bertemu dengan anak-anak pada sore hari.
Si kecil
(Thole) pulang sekolah sebelum jam sebelas. Oleh karena itu, saya harus
menjemput si kecil terlebih dahulu lalu saya antar ke Taman Penitipan Anak. Bila
sore telah tiba dan saya sudah selesai mengajar maka saya akan menjemput si
kecil. Biasanya, saya memberikan perhatian lebih besar pada kegiatan makan
siang dan sore.
Demikian
juga kalau Dhenok sudah pulang sekolah, pertama kali yang saya tanyakan (sesudah
shalatnya) adalah makannya. Kalau sudah bertemu dengan keluarga dan ngobrol di
samping rumah, saya perhatikan fisik anak saya. Lesu atau bugarkah, mengantuk
atau segarkah, sehat atau sakitkah? Mengapa ini menjadi perhatian saya? Sebab kekhawatiran
saya bisa berlebihan kalau anak-anak sakit.
Kekhawatiran
saya sama dengan kekhawatiran kedua orang tua saya ketika saya kecil sering
sakit ringan. Kekhawatiran yang lumrah, tapi sebagian orang mengatakan
berlebihan. Ada alasan mengapa saya khawatir dengan kondisi anak-anak ketika
sakit. Intinya, saya merasa diberi amanah oleh Allah. Saya akan merawat sekuat
tenaga.
Saya
pernah merasa bersalah ketika Dhenok (waktu itu 2 tahun, tahun 2002) mengalami
muntah secara berlebihan dan masuk rumah sakit. Ketika Dhenok kelas X SMA, dia
harus menjalani operasi tumor bibir (bahasa orang awam yaitu kutil di bibir). Si
kecil saat masih bayi keluar masuk (opname) rumah sakit sampai 4 kali. Ketika TK
menjalani pemasangan dan pelepasan platina karena tangannya patah.
Dengan
demikian, saya ekstra hati-hati menjaga kedua anak saya. Jangan sampai sakit! Agar
tetap sehat maka saya benar-benar memperhatikan makannya.
Pagi
tadi saya mencetak buku rekening di bank yang ada di rumah sakit. Selesai mencetak
burek, saya bergegas meninggalkan ruang tunggu. Saya melihat seseorang,
sepertinya saya pernah mengenalnya. Saya ragu-ragu, mau menyapa atau membiarkan
orang tersebut pergi. Rupanya, orang tersebut juga ragu (sempat melihat saya
dan menghentikan langkahnya).
Dengan
keberanian saya, saya memanggil orang tersebut yang berjalan di depan saya.
“Mas,
apakah panjenengan dulu sekolah di Tunas Muda?”
“Iya,
buk.”
“Saya,
Bu Ima.”
Setelah
berbasa-basi, akhirnya saya tahu Mas Larno murid saya itu anaknya sedang
dirawat di rumah sakit. Anak Mas Larno berumur 2 bulan (masih imut sekali), di
lehernya ada benjolan. Karena Mas Larno kelihatan buru-buru maka saya tidak
banyak bertanya.
“Semoga
adik cepat sembuh, Mas Larno.”
“Matur
nuwun doanya, Bu.”
Laki-laki
muda itu berlalu meninggalkan saya. Lidah saya kelu, sampai di tempat parkir
mata saya berkaca-kaca. Saya jadi ingat ketika kedua anak saya dipasang infus
lalu saya harus menggendong dan jalan-jalan karena mereka rewel.
Nikmat
sehat, begitu mahal harganya. Maka bersyukurlah, jangan kufur. Kalau kita sudah
diberi banyak nikmat, limpahan rezeki, anak yang sehat, keluarga yang bahagia
berkecukupan, lalu “Nikmat manakah yang kamu dustakan?”
Tulisan
ini hanyalah sarana mengingatkan diri sendiri agar selalu syukur nikmat.
Karanganyar, 9
September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar