Semangat naik perahu dok.pri |
Faiz
dan Jeje berlari-lari kecil bermain di sekitar tempat kami menikmati pecel
gendar. Keduanya berbicara, entah apa yang dibicarakan. Saya lihat kalau salah
satunya lari, maka yang lain mengikuti. Dunia anak-anak, dunia bermain-main. Saya
tidak khawatir karena Faiz banyak yang memperhatikan.
Faiz
sudah tidak sabar ingin naik perahu, duduk di atas perahu, benar-benar berada
di atas air. Bukan hanya naik perahu berhenti di darat. Faiz memang diberi tantangan
oleh teman-teman saya. Jawabnya dengan penuh percaya diri,”Aku berani!”
Saya
membatin, halah Iz, Iz, kamu memang berani tapi simboknya akan berpikir ulang
untuk naik perahu. Tapi saya tidak mau kalah dengan Faiz, gengsi dong…. Anaknya
saja berani, mosok simboknya tidak berani. Padahal sungguh, saya paling takut
dengan air dan yang berhubungan dengan air termasuk naik kapal. Apa iya,
anaknya naik kapal dititipkan pada orang lain sementara maminya jalan-jalan
sendiri? Sebelum menuju dermaga, saya sempat membeli mainan boneka gajah dari
akar wangi. Harganya murah, hanya Rp. 5.000,00 saja.
Boneka gajah akar wangi dok.pri |
Jeje
tidak mau naik perahu, benar-benar takut, padahal Ibunya pingin naik perahu. Biarpun
telah dibujuk banyak orang dan disuruh jejer Faiz, tetap saja tidak mau. akhirnya
Jeje tidak naik perahu. Yang tidak ikut naik perahu jumlahnya banyak.
Kami
menuju tempat pemberangkatan. Satu perahu disewa dengan harga Rp. 200.000,00. Tempat
yang dituju adalah karamba. Kalau perorangan naik perahu untuk jarak terdekat
sampai karamba, biayanya sepuluh ribu rupiah. Katanya, kalau sampai bendungan/pintu
air biayanya tambah. Dan, untuk sampai PLTA biayanya dua kali lipat karena
jaraknya memang cukup jauh.
Di atas air, deg-degan dok.pri |
Bismillah,
Alhamdulillah bisa naik perahu untuk kedua kalinya. Pertama kali naik perahu
waktu masih SD kelas 1, sekitar empat puluh tahun yang silam, di Pantai
Kenjeran Jawa Timur. (Wow, saya sudah tak muda lagi). Saya, Faiz dan
teman-teman mengenakan pelampung. Ini wajib bro!
Perjalanan
dimulai, pelan-pelan. Sepertinya keseimbangan belum tercapai. Haitsyah, apa
pula ini, hukum Fisikanya keluar. Dada tetep saja berdegup. Allahu akbar, zikir
ayo zikir berdoa semoga selamat sampai tujuan. Setelah jarak yang ditempuh
cukup jauh, perahu berjalan dengan normal. Masya Allah, saya berada di atas air.
Faiz berada di samping saya. Faiz digoda teman-teman saya,”Ayo Iz, ndang mancing.”
Faiz hampir membuka tasnya.
“Nggak
usah Iz. Mancingnya besok sama ayah saja.”
Faiz
tidak merengek-rengek alias ngedrel. Anak itu menurut pada apa yang dikatakan
maminya.
“Boleh
berdiri, Mi?”
“Boleh.”
Saya
memperhatikan anak itu. Pingin nangis rasanya, terharu. Setiap hari, Faiz
selalu dekat dengan Ayahnya. Setiap hari kalau di rumah tidak ada Ayah, Faiz
akan menangis berada pada taraf mengamuk. Bagaimana caranya, dia harus bertemu
Ayah. Kalau dia sudah mengamuk, apakah saya marah? Tidak! Saya selalu teringat
masa kecilnya yang sakit-sakitan dan keluar masuk rumah sakit. Saya merasa
bersalah kalau ingat ketika kecil Faiz sering sakit.
“Faiz
tidak pusing?”Tanya saya.
“Tidak.
Mami pusing ya?”
“Iya,
Iz. Ini namanya mabuk air.”
Setelah
perahu berjalan di antara karamba, perahu berbalik arah dan kembali ke dermaga.
Alhamdulillah, kami selamat sampai di tempat semula. Saya tidak sempat
foto-foto. Maklum, saya harus menggandeng Faiz ke mana saja dia melangkah.
Karamba dok.pri |
Kepala
saya agak pusing. Ternyata mbak Lina juga pusing. Semoga nanti setelah makan
siang, pusingnya hilang. Nah, setelah naik perahu, kami mencoba berkeliling
naik sepur kelinci.
Perjalanan
kami belum selesai. Kami harus mengantre karena sepur kelincinya hanya satu (3
gerbong).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar