noerimakaltsum.com. Sudah
dua hari ini, saya mengandalkan/numpang hidup “internet” dari anak dan suami. Quota
internet habis, mau beli rasanya sepeda motor kok ya tidak mau berbelok ke
konter. Motornya hanya hafal rute rumah-penitipan-sekolah. Akhirnya, tanpa internet
saya bisa melakukan beberapa kegiatan rumah tangga dan “me time”.
Me time
saya hanya membaca buku. Kebetulan ada buku baru, judulnya “HIDUP TENANG TANPA
RIBA”. Buku ini sangat cocok untuk saya yang memang ingin menjauh dari riba. Memang,
saya tidak terjerumus dan terperosok dalam. Saya pernah berutang dan sudah
pasti ada unsur ribanya, sebab saya berhubungan dengan bank konvensional dan
koperasi. Akan tetapi saya tidak terlalu terlena.
Kalau
saya berutang lalu di kemudian hari ada uang untuk melunasi, saya cenderung
segera melunasi. Lebih baik saya tidak membawa uang berlimpah tapi tidak
memiliki utang daripada uang saya banyak tapi utang saya juga lebih banyak.
Alhamdulillah,
hidup saya tenang tanpa utang. Pagi, siang, sore dan malam tidak ada yang mengusik
saya. Tidak ada tagihan dari bank, tidak ada “jago kepruk” dan debt collector
yang datang ke rumah. Ayem tentrem, sanadyan ora duwe bandha sing isa dipamerke
(tenang, meskipun tidak memiliki harta benda yang bisa dipamerkan.
Dari
beberapa tulisan, saya baru membaca kisah dari 3 penulis. Ketiga tulisan tersebut
penulisnya adalah mbak Etyastari Soeharto, mbak Nurul Chomaria, dan mas Dwi
Suwiknyo. Dari penulis buku tersebut baru mbak Nurul Chomaria yang sering saya
temui. Maklum, mbak Nurul teman komunitas IIDN Solo.
Membaca
kisah dari ketiga penulis tersebut, saya semakin mantap dengan sikap saya yang
tidak mudah tergiur untuk berutang. Bahkan dulu ketika ditawari kartu kredit,
saya menolak keras. Saya bergeming, tidak terpengaruh rayuan gombal seorang
marketing bank.
Meskipun
saya pernah berutang, tapi itu untuk membiayai pengobatan kurang lebih 40 juta
rupiah, bukan untuk memenuhi gaya hidup. Saya dan suami memang sudah sepakat menjalani hidup sederhana. Seandainya bisa membeli barang-barang dengan kontan sekalipun
bila barang tersebut tidak saya perlukan, mending uangnya saya tabung.
Kisah
yang ditulis mbak Nurul sungguh membuat saya prihatin. Usaha yang dimulai dari
kecil-kecilan, kemudian mengalami pasang surut dan sempat Berjaya, akhirnya
terpuruk, ambruk gara-gara utang bank. Tidak pernah saya bayangkan ada debt
collector yang datang ke rumah dengan tampang garang.
Mbak
Etyastari, awalnya tidak tergiur tapi akhirnya luluh dengan rayuan gombalnya
marketing bank. Kartu kredit, kartu sakti, yang awalnya membantu menjadi “menjerat
leher”. Kebetulan, mbak Etyastari ini orangnya tidak tegaan melihat wajah
memelas temannya. Pada akhirnya kartu kredit yang disangka malaikat ini, malah
mengantarkannya ke jurang. Sebenarnya, bukan mbak Etyastari sendiri yang
memakai, ada “penipu” dari kalangan terdekat. Ngenes, memelas, dan saya ikut
tercabik-cabik.
Mungkin
hampir sama dengan cerita lainnya, mas Dwi Suwiknyo perjalanannya panjang dan
berliku dan semua itu karena “tergiur” untuk memenuhi (maaf, maaf sekali ya mas Dwi,
saya menyebutnya demikian) gaya hidup. Padahal awalnya enjoy dengan
kehidupannya.
Kebetulan,
saya juga sering dikompori untuk membeli mobil. Baik saudara, teman maupun
kerabat sering bilang kalau saya mampu membeli mobil dan memang perlu. Insya Allah,
saya tidak tergiur untuk memiliki mobil kalau memang belum butuh.
Pada
akhirnya kembali pada kita. Lebih baik menyadari setelah jatuh lalu bangkit
daripada masih keras kepala untuk bertahan bersahabat dengan riba padahal sudah
bangkrut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar