Umar dan Hakim mengenakan jaket. Keduanya hendak
ke bengkel. Fitri membuka plastik berisi kacang rebus.
“Kopi susu tanpa gula,”kata Fitri sebelum
Marwan menyiapkan kopi susu panas.
“Tumben tanpa gula. Sepertinya lagi
mengurangi karbo ya.”
“Pingin saja.”
Sebentar kemudian kopi susu sudah berada
di atas meja.
“Fitri, jangan lupa hari Minggu hadir pada
acara pernikahan Santi.”
Sebenarnya Fitri tidak mau membahas hal
satu ini, takut nanti menyinggung Marwan. Ternyata Marwan sendiri yang
memulainya.
“Insya Allah aku datang pada acara
istimewa sahabat karibku.”
“Fit, sebenarnya beberapa hari ini aku mau
menanyakan sesuatu padamu tapi kok rasanya berat. Seperti ada beban. Setiap bertemu
kamu, rasanya serba salah.”
“Kenapa? Kamu itu seperti berhadapan
dengan orang yang baru kamu kenal saja. Bicaralah, aku akan mendengarkan.”
“Fit, 19 tahun kita berteman dan akrab. Demikian
juga dengan Hakim dan Umar. Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kita sering
melakukan banyak hal bersama-sama.
Memang, untuk masalah pribadi, kita masih
membatasi untuk bercerita. Mungkin kali ini saat yang baik aku mengatakannya
padamu.”
Fitri mulai menyimak dengan serius. Kali ini
tanpa Hakim dan Umar, jelas suasananya jadi berbeda. Fitri berharap semoga bisa
mendengarkan tanpa memotong cerita Marwan. Apapun yang dikatakan Marwan, semoga
tidak ada hal yang membuat kecewa.
“Belasan tahun yang silam, istriku pernah
mengatakan bahwa dia ikhlas seandainya aku mencari pendamping yang lain. Saat itu,
aku tidak menanggapi omongannya.
Mungkin karena aku menganggap bahwa kata-kata
istriku diucapkan ketika dia sedang
sakit. Aku berkonsentrasi dalam penyembuhan sakitnya. Aku tidak pernah
mempunyai pikiran untuk menikah lagi.
Beberapa bulan terakhir, aku bertemu
dengan orang istimewa, yang benar-benar membuatku menyukai orang tersebut. Ketika
aku bertanya pada istriku apakah keikhlasannya andai aku menikah lagi, masih berlaku
untuk saat ini. Jawabnya adalah ya, masih berlaku.
Aku seperti mendapatkan lampu hijau. Tidak
perlu waktu yang lama, aku bisa menyelami orang tersebut. Kamu tahu, siapa yang
aku maksud.”
“Siapa?”
“Santi. Tak perlu aku jelaskan mengapa
Santi keluar dari kantor. Kamu pasti tahu jalan ceritanya. Aku mau membantu
Santi keluar dari masalah. Semoga niat baikku diridhai-Nya.”
“Jadi? Wan, kamu akhirnya sama….” Fitri
mengambil beberapa butir kacang lalu ditimpukkan ke arah Marwan.
“Apa-apaan, kamu Fit.”
“Semoga samawa. Salam buat istrimu, mbak
Riana. Benar-benar hatinya mulia.”
Keduanya tersenyum. Fitri menyeruput kopi
susu buatan Marwan.
“Kopi susu ini bukan cangkir yang
terakhir, kan?”goda Fitri.
“Masih ada cangkir yang lain untuk hari
esok.” (TAMAT)
00000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar