Beberapa
hari ini, pada siang hari udara terasa gerah. Seperti biasa, rambut yang mulai
memanjang rasanya lepek. Oleh karena saya terbiasa dengan rambut pendek (sangat
pendek, seperti Demi Moore pada film Ghost), saya ingin memendekkan rambut.
Sayangnya,
saya tidak ada waktu untuk datang ke salon. Padahal kalau saya mau, tinggal
duduk manis, bilang Demi Moore, kapster sudah tahu kemauan saya. pada akhirnya,
tanpa diundang ada kapster yang menawarkan diri.
Kain
panjang dipasang menutupi badan. Rambut diikat karet lalu mulai kres-kres,
gunting menari-nari di atas kepala. Sang kapster banyak omong, tidak seperti
yang lain.
“Ibu,
rambutnya diblow saja, ya.”
Saya
diam, saya sudah curiga. Pasti hasilnya tidak sesuai dengan yang saya harapkan.
Ketika memotong bagian depan, sempat saya protes kurang pendek, masih
kepanjangan.
Dalam
memotong rambut bagian belakang, sang kapster juga tidak luwes. Malah sempat
saya bilang,”potong bathok saja.” (artinya, tempurung kelapa digunakan untuk
cetakan potongan rambut dengan cara ditaruh di atas kepala. Setelah itu,
rambut-rambut yang kelihatan dipotong/dihilangkan).
Kapsternya
tertawa. Ini agak tidak beres. Beberapa saat kemudian, selesai. Saya bercermin!
Benar-benar tidak seperti yang saya harapkan, saya minta potong pendek,
hasilnya rambut model blow dan panjangnya tidak rata.
Kain
dilepas. Rambut saya disisiri dengan pelan-pelan.
“Bu,
gratis nggak usah membayar.”
“Kalau
disuruh membayar saya juga tidak bakalan mau. Ealah, di salon membayar delapan
ribu rupiah hasilnya bagus. La ini, hasil kerja kapster tidak professional.”
Faiq
anak gadis saya terkekeh tanpa merasa berdosa telah mengeksekusi rambut Ibunya.
Saya berseru,”Rambut ini adalah korban kapster pemula.” Ya, kapster pemula itu
adalah Faiq anak gadis saya. Namanya
juga gratisan, tak apalah hasilnya seperti apa. Yang penting rambut saya tidak
mudah lepek lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar