Judul
di atas tidaklah berlebihan dan saya tidak bohong. Hampir setiap tahun, setiap
menjelang lebaran, di rumah banjir kiriman tahu dari tetangga. Apakah ini
berlaku di rumah tetangga lainnya? Jawabannya adalah belum tentu.
Lebih
dari sepuluh tahun terakhir, setiap menjelang lebaran, tetangga-tetangga yang
memiliki usaha produksi tahu mengirim tahu putih untuk keluarga saya. itulah
bentuk penghormatan mereka kepada Bapak saya (bukan ge-er atau pamer lo).
Bapak
adalah orang yang sangat dihormati di sekitar rumah. Pada usia senjanya, 76
tahun, Bapak dianggap sebagai orang yang dituakan. Selain umurnya yang sudah
tua, juga karena Bapak terlibat langsung dalam kegiatan sosial. Bapak mengisi
pengajian (atau tausyiah), mengajari membaca Alquran untuk Bapak/Ibu tetangga,
menjadi Imam ketika berjemaah sholat dan kegiatan sosial lainnya.
Di sekitar
rumah Bapak berdiri beberapa pabrik tahu. Dahulu waktu saya masih sekolah,
kadang sangat terganggu dengan polusi udara dan suara dari pabrik tahu yang
beroperasi tak mengenal waktu. Setelah anak-anak Bapak sudah tidak menempuh
pendidikan lagi, polusi-polusi tersebut sudah tidak mempengaruhi kami.
(Sebenarnya tetap mempengaruhi, tapi kami sudah bisa menurunkan idealisme kami
untuk hidup tenang, nyaman).
Dua hari
puasa terakhir atau menjelang lebaran, tetangga-tetangga yang memproduksi tahu
datang memberi tahu kepada Bapak/Ibu. Oleh karena bila dikumpulkan jumlahnya
banyak, kadang-kadang keluarga saya kesulitan untuk mendistribusikan. Kalau ditaruh
di ember bisa mencapai 2 ember besar.
Anak-anak
bertugas mendistribusikan tahu-tahu tersebut kepada kerabat-kerabat. Pokoknya harus
habis. Sebab kalau tidak segera habis, kami repot untuk menghangatkan tahu agar
tidak basi. Bila dimasukkan ke dalam kulkas, juga akan memenuhi kulkas lalu
makanan yang lain harus dikeluarkan dari kulkas.
Alhamdulillah,
bagaimanapun juga kami sangat bersyukur karena rezeki datang tanpa kita pinta. Nah,
mungkin yang menjadi kendala saat-saat lebaran, tahu hanya dilihat sebelah
mata. Tentu saja makanan yang lain yang lebih laris untuk diambil.
Kadang-kadang,
saya mudik tidak terlalu lama. Saya ingin segera balik ke Karanganyar dengan
membawa tahu. Bukan untuk saya konsumsi sendiri, tahu-tahu tersebut pada
akhirnya juga akan saya bagikan ke tetangga.
Bagi
orang lain mungkin hanya dibilang ah Cuma tahu. Akan tetapi bagi saya dari tahu
ini filosofinya luar biasa. Tahu bisa mempererat persaudaraan. Tahu putih kalau
sudah digoreng akan disantap sebagai teman ngobrol. Kalau kebetulan keluarga
kecil adik saya yang “hobi banget dengan mpek-mpek Palembang” datang, tahu
goreng bisa dimakan dengan cuko. Tambah nikmat dan mantap.
Meskipun banyak
tetangga yang memberi tahu, tapi Bapak tidak pernah menolak dengan berkata,”maaf,
saya sudah memiliki banyak tahu.” Tidak! Bapak tetap menerima pemberian tahu
dari tetangga-tetangga. Rasanya, tidak berlebihan kalau saya mengatakan banjir
tahu menjelang lebaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar