Saya memang Ibu yang galak bagi kedua anak-anak saya. Kalau yang
besar belum pernah bilang kalau saya galak. Si kecil sering mengatakan saya
galak bila dia tidak memenuhi perintah saya. Saya akan mengatakan bahwa Mama
harus galak. Selanjutnya saya akan bersikap lembut pada si kecil sambil
memberikan penjelasan mengapa saya harus keras dan tegas jadi terkesan galak.
Saya memang harus galak. Saya tidak boleh lemah lembut
menghadapi anak saya (yang kecil) yang super ini. Si kecil selalu banyak alasan
dan ngeyel. Kalau saya terlalu lemah dan menurut kemauan si kecil, saya tidak
keras dan tegas, tentu si kecil akan membangkang.
Sudah kelas II SD, liburan ini diminta untuk ke penitipan anak
saja sampai membuat Bapak/Ibunya emosi. Si kecil membangkang dengan alasan di
penitipan anak, anak-anak yang dititipkan nakal-nakal. Intinya, si kecil tidak
mau dititipkan. Saya tidak mau mengalah, saya harus memaksanya ke penitipan. Mengapa?
Tentu saja karena saya dan suami harus bekerja dan tidak memungkinkan membawa
anak.
Dibanding suami, saya lebih galak, keras dan banyak memberi
nasihat. Saya harus keras mendidik anak-anak saya seperti kedua orang tua saya
keras mendidik kami, anak-anaknya. Dengan keras dan tegas, Alhamdulillah kami
bisa menjadi orang berhasil. Seandainya Bapak dan Ibu hanya lemah lembut,
mungkin keadaan kami sekarang akan beda.
Kepada anak-anak saya, tidak bosan-bosan untuk mengingatkan
shalat dan belajar. Bisa dibilang saya sampai meniren (kebanyakan bicara). Saya
tahu kedua anak saya akan bilang sebentar-sebentar untuk shalat dan belajar.
Sejak SD sampai SMA, anak saya tidak “rajin” belajar. Belajar seperlunya
dan secukupnya saja. Kadang-kadang saya ingin anak saya menjadi anak yang manis
dan penurut seperti anak-anak teman saya. Apa boleh buat, semakin saya paksa
semakin dia jauh dari buku.
Pada akhirnya memasukkan ke bimbingan belajar merupakan salah
satu kiat agar anak saya mau belajar. Tentu saja saya memiliki harapan agar
anak saya lebih berprestasi. Tapi nyatanya tidak demikian. Kemampuan akademiknya
biasa bahkan rankingnya berada di bawah separo. Pada akhirnya ketika ada
kesempatan jalur undangan masuk PTN, anak saya tidak lolos alias gagal total.
Sudah begitu, belajarnya juga tidak lebih giat. STATIS saja,
datar saja tidak ada peningkatan jumlah
jam belajar. Saya tidak bisa memaksa maka saya pasrah berdamai dengan “semaunya”
anak saya.
Selama kelas XII, saya selalu berdoa agar anak saya masuk PTN. Selama
saya bisa berdoa, saya tidak pernah lupa untuk meminta agar anak saya diterima
di PTN. Setelah mengikuti SBMPTN, anak saya mendaftar untuk ikut ujian mandiri.
Anak saya mengikuti les untuk persiapan unian mandiri. Kalau di rumah, buku
tidak disentuh sama sekali.
Hari ini, Selasa 3 Juli 2018 adalah hari pengumuman SBMPTN. Sebelum
membuka internet, saya sempat bilang pada anak saya: usahamu belum maksimal. Belajar
dan shalatmu belum maksimal. Anak saya membela diri.
“Aku kurang apa ta Ma? Sudah ikutan les, sudah shalat.”
“ Tapi belajarmu kurang.”
Saya, suami, dua anak saya berada di garasi samping rumah. Iseng-iseng
anak saya membuka hape.
“Aku deg-degan Mah.”
“Buka saja dan browsing.”
“Sudah, Ma.”
“Masukkan nomornya.”
Tahu-tahu, anak saya berteriak histeris. “Mama, berhasil.”
Spontan kami mengucapkan Alhamdulillah. Anak saya menangis
bahagia. Saya menangis haru. Bagaimana tidak menangis kalau melihat usaha anak
saya yang “kurang gereget” membuahkan hasil yang sedemikian mantap. Diterima di
Fakultas Pertanian UGM adalah sesuatu yang membanggakan dan harus disyukuri.
Allah Maha Tahu, Allah mengabulkan doa-doa saya, doa anak saya,
doa suami dan keluarga besar saya. Allah memudahkan urusan anak saya. Semoga
besok lebih sukses dan tetap sholehah.
Saya adalah Ibu yang galak. Kalau tidak galak, anak-anak juga
tidak bisa mapan sendiri.
Saya jadi ingat orang tua saya yang keras.
Apa jadinya bila Bapak dulu tidak keras pada anak-anaknya? Kami
menjadi kuat, kokoh dan tegar karena gemblengan Bapak. Kami menjadi berhasil
karena Bapak dan ibu keras terhadap kami.
Dan sebagai orang tua, kami juga keras terhadap anak-anak.
Kerasnya kami agar mereka menjadi generasi yang kuat, tetap sholeh dan
sholehah, serta berhasil
Meski keras, anak-anak tetap dekat dengan saya. Mereka selalu
mencari saya ketika pertama kali masuk rumah.
Sore ini, tangis anak
pertama saya pecah setelah saya bilang kamu tidak maksimal dalam berusaha.
Beberapa menit kemudian, kami berempat menitikkan air mata. Ternyata kerasnya
Ibu dan Bapak selalu ada hikmahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar