dok.Nurul Chomaria |
MENIMBA ILMU DARI PENULIS BERPENGALAMAN
Seperti biasa, Temu Penulis Yogyakarta (TPY) selalu memberi kejutan bagi anggotanya. Kali ini saya dikejutkan dengan seorang penulis yang sudah sepuh, kalau nulis hanya manual tulis tangan lalu dimasukkan ke rental, prestasinya tidak diragukan lagi dan saya menyebut aku banget. Saya memiliki kemiripan dalam hal menulis ini, nulis niatnya berbagi, bukan materi dan bukan royalti. Seandainya dari menulis dari uang, itulah rezeki yang patut disyukuri
Beliau adalah Ibu Suprihatin yang dikenal dengan sebutan Mbah Suprih. Dalam menulis, beliau hanya mengandalkan pengalaman, naluri, olah kata, sedikit berimajinasi, dan tidak kebanyakan teori. Apa yang beliau rasakan, pengalaman waktu tinggal di Gunungkidul, mencari air di goa, memperkaya tulisannya.
Kegemaran beliau menulis karena sering membaca. Tidak heran memang, karena waktu kecil ayahnya sudah menyewakan buku bacaan yang jumlahnya tidak sedikit. Buku-buku yang dipinjamkan dari berbagai genre, di antaranya buku yang ditulis oleh Kho Ping Hoo.
Menurut beliau, menulis berdasarkan pengalaman sendiri, tulisannya akan semakin dalam penghayatannya. Tips beliau agar bisa menulis adalah tulis yang disukai dan dekat, banyak membaca alam, teman, lingkungan, dan interaksi sosial, tidak mudah putus asa dan mau menerima kritik dan saran.
Alhamdulillah, saya bisa bertemu langsung dengan penulis berpengalaman yang tidak muda lagi. Beliau lahir tahun 1953. Meski sudah pensiun tapi kegiatan menulis dan berbagi pengalaman menulis di berbagai kalangan terus berlangsung.
Semoga panjang umur dan sehat selalu Mbah Suprih.
MASIHKAH TIDAK MAU MENULIS?
Zaman sekarang banyak kemudahan yang kita peroleh agar bisa nulis. Nulis tinggal nulis di hape. Nggak punya laptop atau komputer, bisa juga nulis di tempat persewaan komputer.
Paling tidak kita bisa ngetik tidak menggunakan mesin ketik manual. Hasil tulisan sementara bisa kita simpan lebih dahulu, lalu bisa kita buka setiap saat. Kita bisa mengedit, menambah, atau mengurangi kata-kata yang tak perlu.
Menulis pada zaman sekarang, tak sesulit zaman dulu. Maka jangan terlalu banyak alasan, nggak bisa nulis karena hal sepele. Kita memiliki waktu yang sama yaitu 24 jam dalam sehari.
Kesibukan kita mungkin berbeda, demikian juga dalam membagi waktu. Menejemen waktu memang perlu, agar kita bisa mengoptimalkan setiap waktu luang yang kita miliki.
Jangan kalah dengan penulis senior seperti Ibu Suprihatin. Oleh karena terdesak kebutuhan ekonomi saat itu, beliau kudu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Sebagai istri, ibu, anak dan saudara, beliau bekerja (mengajar), menyelesaikan administrasi sekolah, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan berdagang. Semua dilakukan penuh tanggung jawab.
Ibu Suprihatin yang dikenal dengan sebutan Mbah Suprih, bukan guru biasa. Beliau guru dengan segudang prestasi yang patut kita teladani semuanya. Prestasi di bidang literasi membuat kita melongo.
Perjuangannya dalam menulis tidak bisa kita remehkan. Beliau tidak seperti kita yang bisa menulis dengan laptop atau komputer, beliau menulis di lembaran kertas.
Mau membuat buku, semua dituangkan dalam bentuk tulisan tangan. Bahkan jumlah halamannya tidak tanggung-tanggung, mencapai ratusan halaman. (Saya membayangkan tulisan beliau pasti rapi).
Kalau tulisan sudah selesai, Mbah Suprih tinggal menyerahkan ke jasa pengetikan. Tentu untuk membuat sebuah buku, beliau mengeluarkan biaya tak sedikit.
Bandingkan dengan kita yang bisa mengetik sendiri, pengeluaran kita lebih sedikit. Kalau beliau tetap semangat padahal keluar biaya besar untuk membuat buku, mengapa kita kalah? Mengapa kita terlalu banyak mengeluh dan beralasan saja tanpa mau melakukan action?
Ternyata Mbah Suprih memiliki prinsip, menulis itu untuk berbagi. Apapun akan beliau lakukan agar tetap bisa berbagi apa yang beliau ketahui. Menulis bukan semata-mata untuk mendapatkan materi dan royalti.
Sampai sekarang beliau masih aktif menulis. Usianya tidak muda lagi, kurleb 65 tahun. Dari beliau kita bisa belajar, menulislah. Apalagi generasi sekarang tidak sulit untuk menabung tulisan.
Setelah pensiun bukan berarti dunia literasi ditinggalkan, melainkan tetap aktif menulis. Sekarang, masihkah kita tidak mau menulis? Yuk, menulis mulai sekarang!
RELA JUAL CINCIN UNTUK NULIS BUKU
Seorang penulis bila memiliki keinginan menulis sangat kuat, maka apa pun bisa dilakukan hanya untuk menuangkan apa yang menyesakkan dada. Seperti Mbah Suprih, waktu itu (sekitar tahun 2001-2002) setiap hari lewat jalan Bantul, antara SGO dan Dongkelan, di situ ada banyak penjual bunga hasil kerajinan tangan. Bunga-bunga tersebut berasal dari limbah kulit jagung, daun lontar, buah mahoni, sabut kelapa, dan lain-lain.
Dari tangan-tangan terampil, ibu-ibu rumah tangga di kawasan kampung Dukuh, Gedongkiwo, limbah-limbah tersebut disulap menjadi benda seni bernilai jual tinggi. Konsumen bunga dari limbah tersebut bukan hanya dari kalangan orang-orang Yogya saja, melainkan sudah dikirim ke luar daerah, mungkin sudah menyeberangi laut.
Mbah Suprih semakin pusing bila melihat bunga-bunga elok menggoda sanubari. Beliau ingin menuliskan tentang bunga-bunga tersebut. Beliau ingin memiliki berbagai jenis bunga yang ada, tapi apa daya, beliau tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli bunga dan menuliskannya dalam bentuk buku.
Mbah Suprih bertekad untuk menyembuhkan sakit kepalanya (pusing karena memikirkan bunga yang mau ditulis). Dengan niat karena Allah, beliau menjual cincin emasnya. Uang tersebut digunakan untuk membeli bunga.
Setelah itu, mulailah beliau menulis tentang bunga limbah tanaman. Menulis tentang bunga limbah ini prosesnya panjang. Karena beliau juga harus melakukan banyak hal terutama informasi cara membuat bunga dari awal sampai selesai. Beliau menuliskan tutorial membuat bunga dari limbah tanaman tersebut. Memang idenya sederhana.
Suatu saat, ada yang bilang pada beliau, "Nulis kok semacam itu, tentang bunga. Mbok yang lainnya."
Mbah Suprih bergeming. Beliau tidak peduli dengan omongan orang. Nulis tentang bunga terus berlanjut. Seperti biasanya, beliau nulisnya di kertas folio, nulis tangan, bukan diketik. Manual banget. Wow, semangatnya luar biasa. Selain semangatnya menulis, beliau juga rela menjual cincin hanya untuk sebuah tulisan. Luar biasa.
Saya merasa semangat saya belum ada apa-apanya dibandingkan Mbah Suprih.
Tahukah Anda? Para pengrajin bunga dari limbah tanaman tersebut rumahnya di sekitar rumah ibu saya, hanya selisih dua rumah saja. Kala itu memang hampir tiap ibu muda yang tak memiliki pekerjaan, mereka membuat bunga untuk membantu perekonomian keluarga. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi jejaknya. Para pengrajin beralih profesi. Tetangga saya sekarang berjualan tahu di pasar Giwangan.
Beruntung, Mbah suprih telah menulis tentang Bunga dari limbah dan membukukannya. Semoga kerajinan bunga dari limbah ini tidak hanya tinggal cerita atau kenangan yang tak terdokumentasikan. Terima kasih Mbah Suprih, yang telah mengabadikan kerajinan bunga dari limbah tanaman.
Benar juga, menulis setelah melihat dan membaca alam tersebut akan sangat mendalam dan mengesankan.
dok.kak oman |
Sumber tulisan:
Facebook: Noer Ima Kaltsum (Kahfi Noer)
Dulu, saya sudah agak lupa, pernah membaca tentang beliau di koran. Beliau memang pejuang yang gigih. Konon bertahun-tahun harus mengajar di tempat yang cukup jauh. Kalau tidak salah di Gunung Kidul.
BalasHapusBetul Pak Ngainun. Beliau mengajar di Gunungkidul, daerah kering. Setiap hari menghemat air, kalau mau mendapatkan air harus ke goa atau sendang, harus menempuh perjalanan jauh. Luar biasa perjuangannya, berjuang untuk mencerdaskan anak-anak negeri.
Hapus