Ini cerita tentang aku yang penulis pemula. Aku bukan orang
terkenal. Aku hanyalah orang biasa yang sedang belajar nulis. Ikut komunitas
menulis diminta buat contoh tulisan, ya legawa saja ketika ternyata tulisanku
balak belur dibantai oleh kurator. (Hiperbola: Ben ketok menderita banget sebagai
anggota baru pada suatu komunitas ora iso nggaya blas dan ora iso kemayu. Nggak
bisa pencitraan, karena memang tulisanku pancen layak dicoret sana sini).
Karya fenomenal aku tak
punya, tulisan yang mejeng di media baru satu dua, arep nggaya paling malah
dibully.
Nah, kesempatan baik ditawari menjadi kontributor sebuah buku
antologi. Tapi ya nggak begitu saja diterima tulisannya. Ikut seleksi. Taraaa,
tulisan sa"uprit" bisa ikut mejeng dalam sebuah buku. Sujud syukur,
shalatnya lebih khusuk, kembali merapal dan melangitkan doa yang lain.
Teretetetttt.
Setiap kontributor wajib promo buku, wajib beli buku meski hanya
satu eksemplar, karena buku tersebut dicetak secara indie. Kamu pasti tahu,
bukan? Bila buku diterbitkan secara indie berarti kelahiran buku tersebut
dibiayai sendiri. Dalam hal ini mestinya para contributor mengumpulkan modal
dengan cara patungan. Ternyata para penulis di sini tidak dipungut biaya karena
sudah ada yang “memberi pinjaman” untuk mencetak buku antologi. Karena aku sudah
ngerti pengertian dicetak penerbit mayor atau indie, ya sebagai penulis kudu
semangat promosi.
Cetarrrr. Meski indie, ternyata penjualannya baik. Sebagai
penulis, dapat potongan harga kalau beli bukunya. Dengan membeli beberapa buku
lalu dijual kembali, penulis sudah mendapatkan untung. Atau bisa saja penulis
gencar mencari pembeli dengan sistem Pre Order. Beberapa bulan kemudian ada
berita, para kontributor diminta untuk mengumpulkan nomor rekening karena ada
sejumlah royalti yang akan dibagikan. Aku sujud syukur lagi. Alhamdulillah, tidak
sia-sia punya buku rekening. Akhirnya dapat menikmati transferan royalty. Keren,
bukan? Jadi penulis itu memang yang diharapkan adalah honor, royalty, dan buku
laku keras di lapangan.
Aku tidak melihat berapa jumlahnya. Pokoknya bahagia banget
dapat royalti. Bayangkan saja, nulis hanya sedikit, lalu jadi buku, dapat
royalti pula. Bandingkan bila nulisku banyak, ditawarkan ke penerbit mayor
ternyata ditolak. Mau nerbitkan secara indie tapi nggak punya modal. Tetap saja
sebagai kontributor aku bersyukur banget karena merasa sangat beruntung.
Jadi, kalau ada penulis yang ikut jadi kontributor buku, dapat
royalti kok nggak bersyukur rasanya pingin nantang. La wong mungkin tulisanmu
itu membuat Penanggung Jawab pusing kepala, dengan revisi lebih dari 50 persen.
Lantas keuntungan hasil penjualan buku dibagi buat seluruh kontributor, kok
kamu mengeluh. Bayangkan, seandainya kamu diminta untuk patungan, lalu bukunya
tidak laris manis seperti kacang goreng. Jangankan untung, balik modal saja Alhamdulillah.
Seandainya tidak balik modal, bisa nangis berjemaah!
Kukasih tahu ya, bersyukurlah. Rezekimu bakal lancar. Royaltimu adalah
rezeki halal, jadi berkah banget hidupmu.
Kalau kamu pingin royalti gede, ya nulis buku dewe sing apik ben
lolos Penerbit mayor. Tinggal ongkang-ongkang royalti lancar.
Kenapa aku selalu bersyukur dengan honor dan royalti yang
kuterima? Karena itu halal, berkah dan melancarkan rezeki dari pintu-pintu yang
lain.
#catatanimapenulis
#berbagiinspirasi
Buku antologi di atas dicetak secara Indie dengan penjualan yang lumayan baik. Sekarang sedang dibuka PO kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar