FIKSI
BIARKAN AKU PERGI
Warung makan lesehan bebek
goreng dan rica mentok ini warung favorit Lia. Tiga bulan sebelumnya Lia sering
menghabiskan waktu makan siang bersama Andi di warung ini. Sayangnya, setelah
kematian Ardian, kakak Andi, hingga tiga bulan kemudian mereka tidak pernah
bertemu lagi.
Andi tak lagi bisa
menghubungi Lia. Semua nomor kontaknya sengaja diblokir Lia. Lia juga tidak
pernah menghubungi Andi. Mungkinkah Lia berkabung dalam waktu lama?
Hari ini mereka
bertemu di warung makan lesehan ini. Lia menikmati bebek gorengnya. Kedatangan
Andi tentu mengejutkannya.
"Kebetulan kita
bertemu di sini. Ibu berharap pada peringatan 100 hari wafatnya Mas Dian, kamu
bisa datang. Dalam waktu dekat, aku mau menikah. Jadi, sekalian nanti sekadar
pemberitahuan pada family tentang rencana pernikahanku."
"Selamat, ya.
Akhirnya kamu menemukan pendamping."
"Kamu bisa datang,
kan?"
"Nanti aku
usahakan."
Seharusnya
Lia pulang hari ini. Tapi entahlah. Ponselnya sengaja dimatikan. Siapa pun tak
bisa menghubunginya.
"Mas, semoga
Allah mengampunimu, menerima amal kebaikanmu. Allah berikan tempat terbaik
untukmu."
"Aku ikut senang,
Andi telah menemukan pendamping hidupnya dan sebentar lagi menikah."
Lia membuka botol
berisi air yang dibawanya dari rumah. Air dalam botol diguyurkan di atas makam
Ardian.
“Mas, bulan depan aku
akan mengunjungimu lagi. Aku pulang dulu, ya.”
Lia berdiri lalu
membalikkan badan. Dilihatnya beberapa orang melewati tanah kosong menuju makam
Ardian. Ada Andi, orang tua Andi, dan beberapa orang lainnya. Mereka tersenyum
saling menyapa. Lia sedikit menundukkan kepalanya tanda hormat.
"Lia, nanti
mampir ke rumah Ibu, ya," kata ibu.
Lia hanya tersenyum,
tak memberikan jawaban. Sampai di rumah, Lia membersihkan diri kemudian cepat-cepat
pamit pada ayah dan ibu. Mereka berpelukan.
"Hati-hati di
jalan, sayang. Kalau ada apa-apa, kamu hubungi ayah dan ibu, ya."
"Terima kasih,
ayah, ibu."
Lia melepaskan
pelukannya. Matanya penuh dengan air. Akhirnya matanya basah juga. Sebentar
kemudian datanglah ojek online yang akan mengantarkannya ke stasiun. Selama
dalam perjalanan, ponselnya dimatikan.
00000
Lia
pantas mendapatkan semua itu. Perempuan mandiri, tegas, lembut, dan baik hati.
Minggu depan dia akan melepas masa lajangnya dan menikah dengan orang yang
tepat. Andi tersenyum.
“Kenapa
kamu senyum-senyum sendiri?”
“Tidak
ada apa-apa. Oh, ya, kamu ingin kado apa dariku?”
“Terserah
kamu saja. Nggak usah yang mahal-mahal. Yang penting kamu harus datang di acara
pernikahanku.”
“Tentu
saja aku datang.”
“Secepatnya
kamu menyusul, ya,” Lia terkekeh.
Lia
mengucapkan kalimat itu karena Andi masih sendirian. Lia berharap Andi
segera mendapatkan pasangan hidup. Andi tersenyum
dan mengusap kepala Lia. Lia pamit dan meninggalkan Andi ketika waktu mendekati
kereta akan tiba di stasiun ini.
“Hati-hati.
Kalau ada apa-apa hubungi aku, ya.”
00000
Dua
jam kemudian Andi juga harus meninggalkan kota Surabaya. Andi mendapatkan kabar
duka dari keluarga besarnya. Beberapa teman Andi menemani dan mengantar Andi.
Tidak mungkin Andi pulang sendirian dengan naik angkutan umum atau travel. Kepulangan
Andi sangat ditunggu. Pemakaman jenazah kakaknya menunggu kedatangan Andi.
Sebelum
meninggalkan kota Surabaya, Andi menyempatkan diri salat ghaib. Perjalanan dari
Surabaya sampai Karanganyar cukup lama. Pukul lima sore rombongan Andi sampai
di rumah duka. Keluarga menyambutnya dengan tangis. Andi buru-buru masuk dan
mendoakan almarhum kakaknya.
Beberapa
orang siap mengangkat keranda. Teman-teman Andi menyingkir dan memilih
beristirahat di salah satu tempat yang telah disediakan keluarga. Andi mencari
sosok perempuan lembut dan keibuan yang tadi pagi diantarnya ke stasiun. Tiba-tiba
adik perempuannya mendekati dan berbisik, “Mas, tolong dampingi Mbak Lia ke
makam. Mbak Lia ingin memberikan penghormatan terakhir pada almarhum.”
Andi
mengangguk. Sebentar kemudian tangan Lia berada dalam genggamannya. “Yang
sabar, ya, Lia.”
Mereka
saling berpandangan. Genggaman tangan Andi lebih erat. Lia memang perempuan
tegar, tabah, lagi sabar. Lia tetap kuat menghadapi kenyataan bahwa calon
suaminya, yakni kakak kandung Andi pagi tadi meninggal karena kecelakaan.
Prosesi
pemakaman telah selesai. Para pelayat telah meninggalkan makam. Di depan
gundukan tanah, Lia dan Andi melantunkan doa. Mata Lia mulai membasah. Hari mulai
gelap. Andi berdiri. Tangannya diulurkan ke arah Lia. Lia menyambutnya dan
berdiri. Keduanya berjalan meninggalkan makam Ardian.
00000
Setelah
cukup istirahat, malam itu juga teman-teman Andi harus kembali ke Surabaya. Lia
berada di sebuah kamar. Kamar pengantin yang telah dipersiapkan oleh keluarga
Ardian. Di dalamnya terdapat barang-barang seserahan. Barang-barang tersebut
sebagian Lia dan almarhum beli bersama-sama. Namun, Lia tak menemukan kotak
perhiasan. Mungkin Ardian telah menyimpannya dan akan dikeluarkan saat acara
pernikahan itu tiba.
Lia
tak menyadari sedari tadi Andi berada di depan pintu kamar. Andi mengetuk pintu
sebagai tanda hormat.
“Ah,
kau. Aku membutuhkan tempat untuk bersandar.”
Andi
seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ada degup tak beraturan di
dadanya.
Aku akan menjagamu sampai kau tak
sendiri lagi. Aku tahu, ada luka dan air mata meskipun tak ada yang menyakiti. Maut
telah memisahkan kalian.
Pagi
itu Andi telah berada di depan makam Ardian.
“Mas,
aku berjanji akan menjaga Lia sampai dia tak sendiri lagi.”
Andi
mengambil ponsel dari dalam saku
celananya. LIA.
“Ada
apa, Lia?”
“Kamu
sudah balik ke Surabaya atau masih di sini?”
“Aku
berada di makam Mas Ardian.”
“Baiklah,
tunggu aku di situ.”
Sebentar
kemudian Lia datang. Lia memakai baju putih.
“Ndi,
ayahmu meneleponku. Katanya ada yang akan beliau bicarakan. Kira-kira kamu tahu
nggak yang akan disampaikan ayahmu?”
“Entahlah.
Ayah dan ibu tak memberi tahu. Datanglah ke rumah agar kau tahu jawabannya.”
“Bersama
kamu?”
“Kalau
kamu datang sendiri, kenapa?”
“Bersama
kamu biar lebih tenang dan nyaman.”
Sebelum
bangkit, Andi berbisik. “Mas, aku pulang. Aku akan mengawal bidadarimu ke rumah
kita, mau menghadap ayah dan ibu.”
Jarak
antara makam dan rumah Andi tidak terlalu jauh. Mereka berjalan kaki.
“Apa
yang kamu bisikkan tadi?”
“Nggak
ada.”
“Bohong.
Kudengar ada kata bidadari.”
“Lupakan.
Kita sudah sampai rumah.”
“Sejak
dulu kamu selalu begitu.”
Lia
dan Andi menemui ayah dan ibu Andi. Andi meninggalkan mereka menuju taman
belakang rumah. Andi tahu bagaimana perasaan Lia kehilangan calon suami
menjelang hari pernikahannya. Berat! Tentu tidak mudah bagi Lia untuk melupakan
kenangan manis bersama Ardian.
Beberapa
waktu yang lalu, Ardian sempat minta pendapat Andi ketika akan memutuskan
menikah dengan Lia.
“Lia
orangnya baik, supel, mandiri, tanggung jawab, dan smart. Mas Dian nggak salah
memilihnya sebagai calon istri.”
“Tahu
Lia seperti itu, kok kamu diam saja dan dulu tak berusaha mendekatinya?”
“Aku
tidak seberani dan senekat kamu, Mas. Tapi nggak apa-apa, kok. Aku akan tulus
ikhlas menjaga Lia selama di perantauan.”
“Terima
kasih, Ndi.”
00000
Butuh
waktu yang cukup untuk mempertimbangkan hal-hal serius. Tidak mungkin mengambil
keputusan dalam waktu yang singkat. Cinta kadang tidak bisa datang dengan
tiba-tiba.
Setelah
tiga hari berada di rumah dan berkabung, Andi harus segera kembali ke Surabaya.
Untuk memastikan Lia dalam keadaan baik, Andi berkunjung ke rumah Lia sebelum
berangkat.
Orang
tua Lia menyambut Andi dengan ramah.
“Dari
pagi Lia belum keluar kamar. Mungkin Nak Andi bisa membujuknya untuk keluar,”
kata Ibu.
Ibu
mengantar Andi di depan kamar Lia.
“Nak
Andi, Ibu tinggal, ya.”
“Ya,
Bu.”.
Andi
mengetuk pintu kamar.
“Lia,
aku Andi. Aku mau kembali ke Surabaya. Kau baik-baik saja, kan?”
Lia
membuka pintu. “Jangan kembali ke Surabaya dulu, Ndi. Temani aku barang
sehari.”
“Kamu
kenapa? Kau baik-baik saja, kan?”
“Aku
ingin kau menjagaku hingga maut memisahkan kita.”
“Lia,
kau jangan memaksakan diri. Cinta tidak bisa dipaksakan, Lia. Kau bebas memilih,
tapi bukan berarti harus memilih aku, adiknya Mas Ardian.”
“Baiklah,
kembalilah kau ke Surabaya hari ini dan jangan pernah lagi menginjakkan rumah
ini.”
Andi
secepat kilat meraih tangan Lia sebelum Lia menutup pintu kamarnya.
“Kamu
kenapa, Lia? Kamu menangis. Aku tahu, betapa besarnya cintamu pada Mas Dian.
Kau pasti sangat kehilangan Mas Dian. Tenangkan pikiranmu dulu. Jangan
cepat-cepat mengambil keputusan.”
“Pergilah,
Ndi. Jangan kembali!”
Andi lelah, Lia telah memblokir semua
kontaknya.
00000
Sebenarnya
Andi akan memberikan kejutan pada Lia setelah 100 hari meninggalnya Ardian. Tapi
sayang, Lia tak pernah tahu perasaan lelaki yang pernah mengisi ruang hatinya
selama 3 tahun di SMA. Sebab Andi tak pernah mengatakan sesuatu padanya. Lia
mengira Andi menikah dengan gadis lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar