Sewaktu kamu bilang suka padaku, aku tidak bisa menerima. Aku tak mau membuka hati buru-buru. Jangan sampai menerimamu hanya karena untuk mengisi ruang yang kosong. Maafkan aku yang lagi patah hati ini, hahaha (1994, belum pacaran sudah putus duluan). Lagian aku belum tahu siapa kamu. Aku belum mengenalmu secara dekat. Dua bulan mengenalmu bagiku adalah waktu yang terlalu singkat.
Kalau kamu mulai memperhatikanku 5 tahun sebelumnya secara
diam-diam (1990). Itu juga karena kebetulan rute ke kampus naik sepeda onthel
yang sama. Aku sama sekali tak tahu itu. Sebab saat aku naik sepeda ke kampus,
pandanganku lempeng saja nggak noleh kiri kanan. Selempeng hati ini yang yak
mudah terombang-ambing. Ciaaa
Suatu hari kamu meyakinkan aku dengan 5 kata ajaib, yang membuatku
yakin keseriusanmu: aku ingin naik haji bersamamu. Kata-kata yang kuyakini
inilah lamaranmu padaku.
Tahun
2005, aku merasakan arti kehilangan. Pada saat itu anak kedua yang
kutunggu-tunggu harus kurelakan "pulang" setelah 10 minggu berada di
rahim. Ada air mata dan hati yang perih karena perjuangan untuk kembali
mendapatkan momongan harus berakhir.
Tahun
2006, bapak mertua meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Setelah keguguran,
aku tak kunjung hamil lagi. Ibu mertua bilang seandainya Allah hanya
mempercayakan satu anak, maka rawatlah dengan baik. Sekolahkan anak setinggi
mungkin. Aku tersenyum. Usaha keras sudah dilakukan, terakhir adalah pasrah.
Allah pasti memberikan yang terbaik buat aku dan suami.
Tahun
2008, Ibu mertua divonis mengidap tumor. Saat itu suami dengan mata berkaca
minta izin aku untuk membawa ibu ke rumah sakit.
"Ayah,
apa yang kamu miliki seandainya untuk kepentingan pengobatan ibu belum bisa
membalas ibu dari kamu lahir hingga saat ini."
"Tapi
kita nggak punya uang."
Akhirnya
aku dan suami sepakat mencari pinjaman ke koperasi lalu ke bank. Tahun 2009,
kondisi Ibu mertua semakin memburuk. Tumor limfa ganas selama setahun terakhir
membuat Ibu mertua pasrah.
Waktu
itu akhir bulan puasa. Ibu akan dibawa ke rumah sakit. Dana untuk berobat makin
menipis. Suami terlambat mengajukan pinjaman ke bank karena bank telah libur
cuti bersama lebaran. Mau tidak mau, yang penting pegang uang, maka suami
meminjam uang koperasi. Ibu minta pulang dan dirawat di rumah saja.
Sepekan
setelah lebaran, ibu wafat. Uang pinjaman dari koperasi masih utuh, lalu
dikembalikan. Seminggu setelah meninggalnya Ibu, aku positif hamil F2.
Alhamdulillah. Bahagia tak terperi. Ternyata Allah menguji aku dan suami untuk
bersabar. Sabar merawat Ibu hingga meninggal. Sabar menunggu buah hati tanpa
keluh kesah.
Kala
duduk santai dengan suami, aku pernah bilang, "Yah, Ayah berangkat umroh
dulu."
"Kalau
ada rezeki, kita berangkat ke tanah suci naik haji bersama-sama."
"Ayah
berangkat dulu saja. Aku belakangan. Kita kan nggak punya dana. Atau mau
mengajukan dana talangan?" tanyaku.
"Nggak
usah pakai dana talangan. Kalau koperasi dan bank telah lunas, kita nabung
dulu."
Suamiku
memang sangat sederhana. Prinsipnya jangan utang kalau tidak terpaksa. Terakhir
utang untuk biaya pengobatan Ibu mertua. Ya sudah, aku manut suami saja.
Akhir
tahun 2011, suami membulatkan tekadnya.
"Mi,
aku ingin naik haji bersamamu. Aku mengajukan pinjaman koperasi untuk
mendapatkan 1 porsi, sedangkan 1 porsi yang lain sudah bisa kita bayar dari
tabungan."
Benar-benar
meleleh air mata ini. Kamu telah memenuhi janjimu, tahun 1995 yang lalu ingin
naik haji bersamaku. Pantas saja tiap kuberikan semangat untuk berangkat ke
tanah suci lebih dulu, kamu tak pernah setuju dan bilang, "aku akan
bersamamu."
Kini
aku tahu, makna genggaman tanganmu tiap kita bepergian berdua. Kamu tak ingin
melepaskanku. Kamu bilang, kelak di tanah suci kita selalu bersama-sama.
Matur
nuwun, kau yang terbaik yang dikirim untuk menjagaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar