Laman

Jumat, 12 Februari 2021

Aku Ingin Naik Haji Bersamamu

 


Sewaktu kamu bilang suka padaku, aku tidak bisa menerima. Aku tak mau membuka hati buru-buru. Jangan sampai menerimamu hanya karena untuk mengisi ruang yang kosong. Maafkan aku yang lagi patah hati ini, hahaha (1994, belum pacaran sudah putus duluan). Lagian aku belum tahu siapa kamu. Aku belum mengenalmu secara dekat. Dua bulan mengenalmu bagiku adalah waktu yang terlalu singkat.

 

Kalau kamu mulai memperhatikanku 5 tahun sebelumnya secara diam-diam (1990). Itu juga karena kebetulan rute ke kampus naik sepeda onthel yang sama. Aku sama sekali tak tahu itu. Sebab saat aku naik sepeda ke kampus, pandanganku lempeng saja nggak noleh kiri kanan. Selempeng hati ini yang yak mudah terombang-ambing. Ciaaa

 

Suatu hari kamu meyakinkan aku dengan 5 kata ajaib, yang membuatku yakin keseriusanmu: aku ingin naik haji bersamamu. Kata-kata yang kuyakini inilah lamaranmu padaku.

 

Tahun 2005, aku merasakan arti kehilangan. Pada saat itu anak kedua yang kutunggu-tunggu harus kurelakan "pulang" setelah 10 minggu berada di rahim. Ada air mata dan hati yang perih karena perjuangan untuk kembali mendapatkan momongan harus berakhir.

 

Tahun 2006, bapak mertua meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Setelah keguguran, aku tak kunjung hamil lagi. Ibu mertua bilang seandainya Allah hanya mempercayakan satu anak, maka rawatlah dengan baik. Sekolahkan anak setinggi mungkin. Aku tersenyum. Usaha keras sudah dilakukan, terakhir adalah pasrah. Allah pasti memberikan yang terbaik buat aku dan suami.

 

Tahun 2008, Ibu mertua divonis mengidap tumor. Saat itu suami dengan mata berkaca minta izin aku untuk membawa ibu ke rumah sakit.

 

"Ayah, apa yang kamu miliki seandainya untuk kepentingan pengobatan ibu belum bisa membalas ibu dari kamu lahir hingga saat ini."

"Tapi kita nggak punya uang."

 

Akhirnya aku dan suami sepakat mencari pinjaman ke koperasi lalu ke bank. Tahun 2009, kondisi Ibu mertua semakin memburuk. Tumor limfa ganas selama setahun terakhir membuat Ibu mertua pasrah.

 

Waktu itu akhir bulan puasa. Ibu akan dibawa ke rumah sakit. Dana untuk berobat makin menipis. Suami terlambat mengajukan pinjaman ke bank karena bank telah libur cuti bersama lebaran. Mau tidak mau, yang penting pegang uang, maka suami meminjam uang koperasi. Ibu minta pulang dan dirawat di rumah saja.

 

Sepekan setelah lebaran, ibu wafat. Uang pinjaman dari koperasi masih utuh, lalu dikembalikan. Seminggu setelah meninggalnya Ibu, aku positif hamil F2. Alhamdulillah. Bahagia tak terperi. Ternyata Allah menguji aku dan suami untuk bersabar. Sabar merawat Ibu hingga meninggal. Sabar menunggu buah hati tanpa keluh kesah.

 

Kala duduk santai dengan suami, aku pernah bilang, "Yah, Ayah berangkat umroh dulu."

"Kalau ada rezeki, kita berangkat ke tanah suci naik haji bersama-sama."

"Ayah berangkat dulu saja. Aku belakangan. Kita kan nggak punya dana. Atau mau mengajukan dana talangan?" tanyaku.

"Nggak usah pakai dana talangan. Kalau koperasi dan bank telah lunas, kita nabung dulu."

 

Suamiku memang sangat sederhana. Prinsipnya jangan utang kalau tidak terpaksa. Terakhir utang untuk biaya pengobatan Ibu mertua. Ya sudah, aku manut suami saja.

Akhir tahun 2011, suami membulatkan tekadnya.

"Mi, aku ingin naik haji bersamamu. Aku mengajukan pinjaman koperasi untuk mendapatkan 1 porsi, sedangkan 1 porsi yang lain sudah bisa kita bayar dari tabungan."

 

Benar-benar meleleh air mata ini. Kamu telah memenuhi janjimu, tahun 1995 yang lalu ingin naik haji bersamaku. Pantas saja tiap kuberikan semangat untuk berangkat ke tanah suci lebih dulu, kamu tak pernah setuju dan bilang, "aku akan bersamamu."

 

Kini aku tahu, makna genggaman tanganmu tiap kita bepergian berdua. Kamu tak ingin melepaskanku. Kamu bilang, kelak di tanah suci kita selalu bersama-sama.

Matur nuwun, kau yang terbaik yang dikirim untuk menjagaku.

 

#naikhajibersamamu #hajimabrur #catatanimapenulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar