Laki-laki itu tiba-tiba muncul. Kehadirannya banyak dinantikan teman-temannya. Namun ada yang lebih menantikan kabarnya sejak lama setelah lebih dari 25 tahun berpisah. Laki-laki itu menyapaku lewat media sosial. Aku tak menanggapi dengan antusias.
"Kamu adalah lelaki di masa lalunya, bukan?" tanyaku setengah menuduh.
"Enggak juga. Kita cuma berteman biasa."
"Teman ada pletik-pletik? Bukankah kamu pergi meninggalkannya? Pergi tanpa pamit dan tak pernah berkabar."
"Aku punya alasan untuk pergi."
"Sebetulnya kalau kamu bilang sejak awal, tidak akan begini jadinya."
"Dengarkan aku dulu. Aku meninggalkannya karena orang tuaku tak merestui kami."
Aku diam. Aku perempuan, mantannya perempuan, dan istrinya juga perempuan. Aku tahu bagaimana hatinya saat perempuan disakiti. GHOSTING. Kamu pergi tak berkabar seperti hilang ditelan bumi. Saat itu belum ada media sosial. Fasilitas telepon juga hanya orang kaya yang punya. Tapi kamu masih bisa menyuratinya. Laki-laki pengecut!
"Aku harus bagaimana? Dia tiap hari meneleponku."
"Nggak usah diangkat atau katakan kalau kamu sibuk."
"Tapi dia kangen suaraku," kata lelaki itu ngeyel.
Preketek. Byuh.
"Dia punya suami dan anak. Kamu juga punya kehidupan dengan istri dan anakmu. Tegaslah padanya. Kisah kalian telah berakhir. Kalau kamu menanggapi "rindu rindu dan melankolisnya" itu artinya kamu membuka cerita lama. Kalian memiliki peluang untuk selingkuh meski tidak secara fisik. Menurutku lebih baik blokir nomornya dan jangan pernah menghubunginya lagi."
"Tapi kita teman dan ada dalam satu grup."
"Maaf. Aku tidak setuju dengan apa yang kamu lakukan. Dulu kamu menyakiti hatinya. Sekarang kamu selingkuh, itu artinya menyakiti hati istrimu."
Setelah telepon ditutup, nomor laki-laki itu aku blokir. Maaf, sahabat. Kita memang bersahabat waktu merah putih, tapi aku tak suka dengan perbuatanmu. Sebagai perempuan aku melihat pertemuan yang kelak akan dilaksanakan akan membuat luka dua perempuan. Kamu khianati istrimu setelah bertemu mantan.
00000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar