www.noerimakaltsum.com Setiap orang berhak bahagia. Setiap orang memiliki versi bahagia sendiri-sendiri. Ketika seseorang bahagia karena bisa makan sayur brambang salam lauk tempe garit, kamu tidak boleh bilang oalah wong kok ndesa men. Mung mangan tempe garit we seneng.
Dulu saat saya kuliah, bahagia versi saya adalah dari rumah pamit pada bapak dan ibu lalu berangkat naik sepeda ontel sampai kampus. Pulang dari kampus lewat malioboro dan selamat sampai rumah itu sudah bahagia.
Setelah menikah, ke mana-mana boncengan sama suami naik alfa, itu sudah bahagia. Bahagia saya memang sederhana. Mudik dari Karanganyar sampai Yogya atau dari Yogya ke Karanganyar, di sepanjang jalan kehujanan pun bahagia.
Sekarang, mudik naik KRL lanjut naik bus, itu juga bahagia. Jadi, bahagia versi saya hanya sederhana saja tapi formatnya berbeda, berubah sesuai kondisi.
Makan bareng berempat, kami bahagia.
Mudik boncengan, saya dan F1, ayah dan F2, kami bahagia.
Pergi berempat ke angkringan, juga bahagia.
Di rumah berkumpul saya, suami, dan anak-anak, sembelih ayam lalu memasak, dimakan dengan kembulan, itu pun membuat bahagia.
Mungkin kamu punya versi tersendiri dengan format berbeda dari waktu ke waktu.
Sebenarnya bahagia itu kuncinya adalah banyak bersyukur dan sabar.
Istri teman saya, sebut saja Fulanah, diberi ujian sakit kanker. Setahun yang lalu teman saya meninggal dunia. Sekarang Fulanah sedang berjuang melawan kanker.
Saat bertemu saya, Fulanah mengungkapkan dulu ketika formasi masih lengkap, bahagianya mereka bisa melakukan berbagai macam aktivitas berempat. Berkumpul di rumah sambil melakukan kegiatan, sekadar ngobrol, atau makan bareng, mereka cukup bahagia. Melakukan perjalanan wisata berempat dan tak lupa bersilaturahmi, itu membuat hati bahagia dan kaya raya. Kuncinya bersyukur.
Sekarang setelah teman saya meninggal, Fulanah dan kedua anaknya membuat format baru. Bahagia mereka dengan format baru. Bukan berarti kehilangan satu anggota keluarga kemudian kebahagiaannya hilang sama sekali. Bahagia mereka ketika mereka lengkap bertiga yaitu Fulanah dan kedua anaknya. Mereka tetap bisa bahagia dan bersyukur. Tentu saja mereka tak bisa berandai-andai. Andai masih bisa berempat. Atau merasa sayang karena salah satu telah tiada.
#catatanimapenulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar